Pages

Friday, May 31, 2013

Salek Buta dalam Pandangan Akidah Islam


Faham Akidah Salek Buta menyimpang dari Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah
Diantara paham aliran salek buta yang menyimpang dari akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebagai berikut :

1. Golongan salek buta mengatakan pada manusia itu ada dua sisi, pertama sisi manusia dan kedua sisi ketuhanan.
Dalam istilah lain,... mereka mengatakan, pada manusia ada dhahir dan ada bathin. Yang menjadi bathin adalah rahasia Allah, sedangkan rahasia Allah itulah Allah sendiri. dan yang menjadi dhahir adalah jasad atau dalam istilah mereka tubuh Muhammad. Sehingga tidak mengherankan kalau mereka sering mengatakan, hakikat manusia adalah Allah. Biasanya mereka berargumentasi antara lain dengan firman Allah Q.S al-Baqarah : 115, berbunyi :

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Artinya : Kemana saja kamu menghadap, maka di sana zat Allah (Q.S. al-Baqarah : 115)

Bantahan
I’tiqad semacam ini jelas dan terang merupakan i’tiqad ittihad dan hulul yang sangat dimurkai oleh ulama-ulama Ahlusunnah wal Jama’ah. I’tiqad semacam ini sama halnya dengan i’tiqad kaum Nashara yang menganggap Allah menyatu dengan Nabi Isa atau dengan Nabi Isa dan Ibunda beliau, Maryam, bedanya kalau kaum Nashara hanya mengkhususkan kepada Nabi Isa atau Nabi Isa dan Maryam, sedangkan salek buta itu mengin’tiqadkan Allah hulul bersama semua makhluq. Dari sisi ini, maka kaum Salek Buta ini lebih keji dari kufurnya kaum Nashara. Padahal Allah telah mencela kaum Nashara ini dengan firman-Nya :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)
Artinya : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah yang ketiga dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(Q.S. al-Maidah : 72-73)

Berikut ini keterangan dari ulama yang mu’tabar yang menjadi ikutan dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai iqtiqad ittihad dan hulul, yakni antara lain :
a. Al-Suyuthi mengatakan :
« Para ulama dan para sufi muhaqqiqiin senantiasa menjelaskan batal pendapat yang mengi’tiqadkan hulul dan ittihad dan merekapun memberitahukan fasidnya serta mengingatkan kesesatannya. »

b. Imam Fakruddin al-Razy mengatakan dalam kitab beliau, al-Mahshul fi Ushuluddin :
« Allah Ta’ala tidak mungkin menyatu dengan lainnya. Karena pada ketika menyatu, jika kekal dan maujud kedua-duanya, maka keduanya itu dua, bukan satu dan jika kedua-duanya tidak ada, maka tidak disebut menyatu, bahkan terjadi yang ketiga. Dan jika tidak ada salah satunya dan kekal yang lain, maka tidak disebut menyatu, karena yang tidak ada tidak akan menyatu dengan yang maujud. »

c. Berkata Qadhi ‘Iyadh :
« Ijmak kaum Muslimin atas kufur ahli hulul dan orang-orang yang mendakwakan hulul Allah Ta’ala pada seseorang, seperti perkataan sebagian orang yang mendakwakan dirinya sebagai sufi, kaum kebatinan, Nashara dan al-Qaramithah. »

Tiga kutipan para ulama di atas disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa karangan Imam al-Suyuthi[1]
Adapun mengenai argumentasi yang sering dijadikan sebagai dalil oleh kaum salek buta di atas, dijawab sebagai berikut :
1). Q.S. al-Baqarah : 115 ini membicarakan masalah qiblat musafir yang melaksanakan shalat sunnat di atas kenderaan sebagaimana terlihat pada hadits riwayat Muslim di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ - قَالَ - وَفِيهِ نَزَلَتْ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Artinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : « Rasulullah SAW melaksanakan shalat di atas kenderaan, beliau menghadap kemana saja arah perjalanannya yakni pada ketika berangkat dari Makkah menuju Madinah. Pada ketika itu, diturunkanlah ayat : « Kemana saja kamu menghadap, maka di sana wajhullah » (H.R. Muslim)[2]

Berdasarkan hadits shahih ini, maka makna « wajhullah » yang lebih sesuai pada ayat di atas adalah bermakna qiblat atau arah ayang diperintah menghadap dalam shalat. Tafsir « wahjullah » dengan qiblat juga merupakan penafsiran yang datang dari Mujahid, salah seorang ahli tafsir dari kalangan Tabi’in.[3] Imam al-Razi, ahli tafsir dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan dalam tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib,[4] bahwa pengertian « wajhullah » pada ayat di atas mempunyai kemungkinan makna sebagai berikut :
a). Bermakna arah yang dihadap pada waktu shalat, yakni qiblat. Diidhafah wahj kepada Allah adalah seperti idhafah bait kepada Allah (baitullah) dan naaqah (unta) kepada Allah (naaqatullah). Idhafah seperti ini, maksudnya adalah idhafaf bil-khlaq wal-ijaad ‘ala sabilil tasyrif (menyandarkan penciptaannya untuk memuliakannya).
b). Bermakna niat dan qashad. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allah, Q.S. al-An’am : 79, berbunyi :
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا
Artinya : Sesungguhnya aku hadapkan niatku dengan mengikuti agama yang benar kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi (Q.S. al-An’am : 79)

c). Bermakna keridhaan Allah. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allah Q.S. al-Insan : 9, berbunyi :
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ الله
Artinya : Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu karena mencari keridhaan Allah. (Q.S. al-Insan : 9)

d). Bermakna kurnia Allah. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allah
كُلُّ شَىْء هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ
Artinya : Setiap sesuatu binasa kecuali kurnia Allah (Q.S. al-Qashas : 88)
Berdasarkan keterangan ahli tafsir diatas tidak ada pengertian « wajhullah » pada ayat Q.S. al-Baqarah : 115 di atas ditafsirkan bermakna zat Allah, lebh-lebih lagi kalau ditafsirkan bahwa pada benda yang dihadap itu menyatu zat Allah di sana. na’uzubillah min dzalik.
2. Golongan salek buta mengatakan, kewajiban ibadah dhahir seperti shalat hanya apabila seseorang belum sampai kepada maqam hakikat. Menurut mereka, kewajiban ibadah dhahir hanya diperuntukkan untuk orang-orang syari’at. I’tiqad semacam ini muncul karena pemahaman mereka, bahwa hakikat bertentangan dengan hakikat. Diantara argumentasi yang mereka gunakan adalah firman Allah
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya : Sembahlah (beribadat) kepada tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan (Q.S al-Hajr : 99)

Berdasarkan ayat ini, mereka mengi’tiqadkan kewajiban beribadah seperti shalat dan lainnya hanya berlaku selama seseorang belum sampai kepada maqam hakikat. Karena hakikat adalah maqam dimana seseorang itu sudah sampai kepada derajat keyakinan atau ma’rifat kepada Allah. Dengan demikian, orang-orang yang sudah mencapai maqam tersebut tidak diperlukan lagi melakukan ibadah.
Bantahan
I’tiqad seperti ini jelas merupakan i’tiqad yang dapat mengakibatkan seseorang divonis menjadi murtad, karena mengingkari kewajiban ibadah dhahir seperti shalat, puasa dan yang semisal dengannya merupakan pengingkaran terhadap ijmak ulama yang bersumber dari sharih dari nash agama. Ijmak ulama atas kewajiban ibadah dhahir seperti shalat ini tidak membedakan apakah seseorang itu masih awam, sudah sampai maqam hakikat atau status lainnya. Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para imam Mujtahid seperti Imam Syafi’i, Hanafi, Malik, Ahmad bin Hanbal, semua mereka ini orang-orang yang disepakati sudah mencapai maqam tertinggi di sisi Allah, tetapi semua mereka tetap melaksankan shalat, puasa dan sebagainya. Bukankah kita diperintahkan untuk mengikuti para sahabat Nabi dalam mengamalkan agama yang mulia ini ? sebagaimana hadits Nabi SAW yang disebutkan pada awal tulisan ini, yakni :
Artinya : Umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu golongan. Mereka mengatakan, “Siapakah yang satu golongan itu, Ya Rasulullah?”, Rasulullah SAW bersabda : “yang satu golongan itu adalah orang yang berpedoman sebagaimana pedomanku dan para sahabatku.” (H.R. Turmidzi).

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran kewajiban ibadah dhahir seperti shalat, puasa dan yang semisal dengannya, sama halnya dengan mengingkari nash-nash agama, baik itu al-Qur’an maupun al-Sunnah seperti firman Allah Q.S. al-Baqarah : 43 berbunyi :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : Dirikanlah shalat, berikanlah zakat dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk (Q.S.al-Baqarah : 43)

Berikut ini keterangan para ulama mengenai orang yang mengingkari kewajiban ibadah dhahir seperti shalat dan yang semisal dengannya, antara lain :
a. Imam Al-Ghazali, seorang imam dalam Tasauf dan ahli makrifat mengatakan :
“Barangsiapa yang mendakwakan bahwa dirinya dihadapan Allah ada suatu keadaan yang menggugurkan seumpama shalat atau haram seumpama minum khamar darinya, maka wajib dibunuh”. [5]

b. Junaid al-Baghdadi r.a., seorang tokoh sufi terkenal ditanyai mengenai suatu kaum yang berpendapat gugur taklif. Mereka mendakwakan bahwa taklif hanya sebagai perantara kepada wushul (sampai kepada Tuhan), sedangkan sekarang kita sudah wushul. Beliau menjawab :
“Benar mereka telah sampai, tetapi sampai ke neraka, karena orang yang mencuri dan berzina lebih baik dari mereka. Sesungguhnya aku, kalau tersisa umurku seribu tahun lagi, maka tidak akan aku kurangi wiridku kecuali ada uzur syar’i.”[6]

Adapun mengenai argumentasi golongan salek buta dengan firman Allah Q.S al-Hajr : 99 berbunyi :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya : Sembahlah (beribadat) kepada tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan (Q.S al-Hajr : 99)

dibantah dengan penjelasan bahwa pada lafazh “al-yaqin” pada ayat di atas tidak dapat diartikan secara dhahirnya, karena makna dhahirnya berarti kewajiban beribadat kepada Allah dibatasi selama belum datang keyakinan. Ini tentu bertentangan dengan ijmak ulama atas kewajiban beribadah kepada Allah yang tidak dibatasi oleh keadaan apapun selama seseorang itu masih hidup. Dengan demikian, makna “al-yaqin” pada ayat tersebut harus dita’wil kepada makna lain yang munasabah dengannya. Penta’wilan semacam ini biasa terjadi di dalam Bahasa Arab dan juga banyak terjadi dalam ayat al-Qur’an. Dalam Bahasa Arab penta’wilan ini disebut majaz. Karena itu, para ahli tafsir setingkat Mujahid dan lainnya dari kalangan Tabi’in mengartikan perkataan “al-yaqin” pada ayat di atas dengan makna ajal atau kematian. Sehingga makna lengkap ayat tersebut adalah : “Beribadahlah kepada Allah sehingga datang ajal.” Artinya ibadah kepada Allah hilang kewajibannya dengan datangnya kematian. Mengartikan “al-yaqin” dengan ajal atau kematian telah ditafsir oleh ahli tafsir antara lain Salim bin Abdullah, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Zaid[7] Kematian atau ajal disebut dengan “al-yaqin” dalam al-Qur’an karena kematian atau ajal sesuatu yang diyakini dan pasti terjadi.
Adapun i’tiqad kaum Salek Buta bahwa hakikat bertentangan dengan syari’at dibantah dengan keterangan ulama dan argumentasi sebagai berikut :
a. Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam dalam Ihya Ulumuddin berkata :
“Barangsiapa yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at atau bathin bertentangan dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur dibandingkan kepada iman”. [8]

b. Imam Malik mengatakan :
“Barangsiapa yang bertasauf tanpa berpegang kepada fiqh, maka dia zindiq, barang siapa yang berpegang kepada fiqh tanpa bertasauf, maka sungguh dia fasiq dan barangsiapa yang mengumpulkan keduanya, maka sungguh dia itu tahqiq (mendapatkan sesuatu yang pasti).”[9]

3. Golongan salek buta beri’tiqad adanya apa yang disebut sebagai shalat daim. Sebagian dari mereka berpendapat dengan adanya shalat daim ini, berarti gugurlah kewajiban shalat lima kali sehari semalam, karena shalat daim ini lebih utama dari shalat dhahir yang dilakukan lima kali sehari semalam. Hal ini menurut mereka karena shalat daim merupakan shalat yang dilakukan tanpa putus-putus dan tanpa berhenti meskipun sesaat, berbeda halnya dengan shalat lima kali sehari semalam, yang dilakukan hanya lima kali sehari semalam. Pengertian shalat daim menurut mereka adalah penyaksian diri, yakni diri bathin dan diri dhahir dalam setiap masa yang berkekalan tanpa putus, walaupun sesaat dalam masa hidup seseorang. Inilah hakikat shalat menurut mereka. Keberadaan shalat ini menurut mereka berdasarkan firman Allah Q.S. al-Ma’aarij : 23, berbunyi :
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
Artinya : Mereka yang shalatnya selalu dikerjakan (daim) (Q.S. al-Ma’aarij : 23)

Bantahan
Untuk lebih mudah memahami kandungan ayat ini, mari kita sebut ayat ini dengan rangkaian ayat sebelum dan sesudahnya secara lengkap, yakni :
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا , إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا , وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا , إِلَّا الْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ.
Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. (Q.S. al-Ma’aarij : 19-20)

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menyebut perkataan « al-shalat ». Di sini, kita hanya membatasi dengan hanya menyebut ayat al-Qur’an yang secara eksplisit dan terang atau inplisit dapat menjelaskan makna shalat yang disebut-sebut dalam al-Qur’an dan Q.S. al-Ma’aarij : 20 khususnya, yakni antara lain :
a. Q.S. al-Nisa’ : 103, berbunyi :
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya : Maka laksankanlah shalat, sesungguhnya shalat itu kewajiban yang sudah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (Q.S. al-Nisa’ : 103)

Shalat pada ayat di atas adalah shalat yang mempunyai waktu tertentu, yakni shalat fardhu lima kali sehari semalam. Dengan demikian, pengertian shalat di sini menafsirkan makna shalat pada Q.S. al-Ma’aarij : 20. Jadi, dengan demikian tidaklah tepat kalau dikatakan pengertian shalat pada Q.S. al-Ma’aarij : 20 bermakna shalat daim sebagaimana pengertiannya menurut dakwaan mereka.
b. Q.S. al-Nisa’ : 43, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk sehingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan (Q.S. al-Nisa’ : 43)

Ayat ini menjelaskan dilarang shalat dalam keadaan mabuk, baru dibolehkan apabila diketahui apa yang diucapkan. Larangan ini adalah karena dalam shalat ada ucapan-ucapan berupa do’a-do’a. Dengan demikian, pengertian shalat pada ayat ini shalat lima kali sehari semalam yang di dalamnya ada do’a-do’a. Demikian juga, pengertian shalat pada Q.S. al-Ma’aarij : 20. Sedang shalat daim hanya dilakukan dalam hati saja, tidak ada disertai dengan ucapan do’a-do’a.
Adapun hadits Nabi SAW yang dapat menafsirkan Q.S. al-Ma’aarij : 20, antara lain :
a. Hadits Nabi SAW, berbunyi :
خمس صلوَات كتبهن الله عَلَيْكُم فِي الْيَوْم وَاللَّيْلَة
Artinya : Lima shalat yang diwajibkan Allah atas kalian pada waktu sehari semalam (H.R. Malik dalam al-Muwatha’ dengan kualitas shahih)[10]

b. Hadits Nabi SAW :
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Artinya : Ajarilah mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka lima shalat pada setiap sehari dan malam (H.R. Muslim)[11]

Dua hadits shahih di atas menjelaskan secara gamblang bahwa shalat yang dimaksud pada bahasa syara’ adalah shalat lima kali sehari semalam. Dengan demikian dua hadits ini medukung bahwa pengertian shalat pada Q.S. Q.S. al-Ma’aarij : 20 dan pada ayat lainnya.
Penafsiran dan pengertian shalat sebagaimana penafsiran yang haq di atas juga didukung oleh penafsiran yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli tafsir dari Sahabat Nabi SAW, Tabi’in dan para ulama sesudahnya sebagaimana berikut ini, antara lain :
1). Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud, seorang sahabat Nabi yang terkenal alim dan ahli tafsir mengatakan :
« Orang-orang yang melakukan shalat dalam waktunya »[12]

2). Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan :

« Ibnu Mas’ud, Masruq dan al-Nakh’i mengatakan : « memelihara waktu dan kewajibannya. »[13]

3). Al-Razi dalam tafsirnya mengatakan :

« Berkekalan mereka dalam melaksanakan shalat dan tidak meninggalkannya sedikitpun dalam waktunya »[14]

Ketiga kitab tafsir Ahlusunnah wal Jama’ah di atas, dengan jelas mengkaitkan shalat pada Q.S. al-Ma’aarij : 20 di atas dengan waktu. Sedangkan shalat daim yang didakwa oleh golongan Salek Buta ini tidak mempunyai waktu tertentu, karena shalat daim menurut versi mereka ini hanyalah penyaksian diri tanpa dikaitkan dengan waktu.

4. Salek Buta mempunyai arti tersendiri dan berbeda dengan pengertian yang umum dipahami oleh umat Islam tentang dua kalimah syahadah. Kalimah syahadah tauhid yang mereka pahami tersebut berasal dari terjemahan kalimat itu yang menurut mereka adalah :
Laa = tidak ada, Ilaha = nyata , lla = kecuali, Allah = Allah
Jadi, maknanya adalah tidak ada yang nyata kecuali Allah. Kemudian mereka melanjutkan pemahaman dari makna tersebut dengan pengertian, tidak ada yang nyata pada kita kecuali hanya Allah semata-mata. Bersyahadah menurut mereka adalah menafikan tubuh kita dan mengitsbatkan kepada nyatanya Allah semata-mata.
Sedangkan pengertian syahadah rasul menurut mereka adalah bersaksi bahwa yang menyampaikan dan menanggung rahasia Allah adalah Muhammad. Sedangkan Muhammad di sini bermakna diri dhahir manusia. Pemahaman mereka ini berangkat dari i’tiqad mereka bahwa hakikat ketuhanan adalah diri batin manusia dan hakikat kerasulan itu adalah diri dhahir manusia. Disebut diri dhahir manusia sebagai hakikat kerasulan menurut mereka, adalah karena pada hakikatnya diri dhahir manusialah yang menanggung dan yang menyatakan rahasia Allah (diri batin).
Bantahan
Pengertian kalimah syahadah seperti ini tentu sangat tidak dikenal dalam Bahasa Arab, bahkan sangat bertentangan dengan bahasa Arab sebagai bahasa yang diturunkan dua kalimah syahadah tersebut dengannya. Kita telah membuka berbagai macam kamus Bahasa Arab, tetapi tidak ditemui perkataan “ilah” yang bermakna nyata. Kalau itu dikatakan sebagai makna ‘uruf atau ‘istilah, kita bertanya, ‘uruf atau istilah siapa? Karena kalimah syahadah ini merupakan kalam Allah Ta’ala, maka pemahaman pengertian dari “ilah” secara istilah tentu harus meruju kepada syara’. Sekarang kita bertanya, apakah ada dalil syara’ yang menjelaskan bahwa “ilah” bermakna nyata. Jawab kita : “Tidak ada sama sekali.”
Berikut ini pengertian dua kalimah syahadah yang benar yang sesuai dengan bahasa Arab dan didukung oleh dalil-dalil syara’ dan keterangan para ulama. Dua kalimah syahadah terdiri dari syahadah tauhid dan syahadah rasul. Syahadah tauhid adalah kalimah :
اشهد ان لا اله الله
Dengan terjemahannya yang benar adalah, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.”
Imam Sanusi, salah seorang imam Ahlussunah wal Jama’ah dalam kitab beliau, Syarah Umm al-Baraahin, menjelaskan bahwa kalimah tauhid ini terdiri dari kalimah nafi dan itsbat. Yang dinafikan adalah setiap hakikat ketuhanan pada selain Allah Ta’ala, sedangkan yang diitsbatkan adalah hakikat ketuhanan tersebut hanya terdapat pada Allah semata, dengan makna tidak mungkin pada akal dan syara’ didapati hakikat ketuhanan pada selain Allah, bahkan hakikat ketuhanan tersebut hanya wujud pada Allah semata. Kemudian Imam Sanusi menjelaskan hakikat ketuhanan (uluhiyah) dengan makna Yang Wajib Wujud yang mustahaq disembah.[15] Pengertian makna “ilah” seperti ini juga terdapat pada banyak firman Allah lainnya, seperti firman Allah Q.S. al-Anbiya : 22, berbunyi :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
Artinya : Kalau pada langit dan bumi ada tuhan selain Allah, maka sungguh binasalah kedua-duanya itu.( Q.S. al-Anbiya : 22)

Sedangkan syahadah rasul adalah kalimah :
اشهد ان محمد رسول الله
Terjemahannya yang benar adalah : “Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”
Yang dimaksud dengan Muhammad yang diitsbatkan kerasulan padanya pada kalimah syahadah rasul ini adalah seorang manusia yang lahir di Makkah anak dari seorang ayah yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan dari seorang ibu yang bernama Aminah. Tidak mungkin kerasulan pada kalimah syahadah ini diitsbatkan kepada muhammad yang bermakna tubuh manusia (diri dhahir manusia), karena memang tidak ada dalam Bahasa Arab, Muhammad bermakna tubuh. Kemestian memaknai Muhammad dengan makna Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib adalah karena hanya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib yang wujud pada ketika turun Al-Qur’an dan wujud hadits-hadits yang menjelaskan kerasulan Muhammad. Untuk dicatat bahwa al-Qur’an dan hadits wajib dipahami sebagaimana pemahaman yang dipahami oleh orang Arab pada ketika turunnya Al-Qur’an dan munculnya hadits-hadits tersebut. Karena al-Qur’an dan hadits turun dan diucapkan dalam bahasa mereka sebagaimana firman Allah Q.S. Yusuf : 2, berbunyi :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
Artinya : Sesungguhnya, kami turunkan al-Qur’an itu dalam Bahasa Arab (Q.S. Yusuf : 2)

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa penafsiran Salek Buta mengenai dua kalimah Syahadah di atas, merupakan penafsiran sesat lagi menyesatkan.

5. Hal-hal lain dari akidah Salek Buta yang menyimpang dari akidah Islam sebenarnya antara lain :
a. Sebagaian kaum Salek Buta tetap berkeyakinan wajib melaksanakan shalat lima kali sehari semalam, namun mereka mempunyai tata cara niat shalat tersendiri yang berbeda dengan niat yang dikenal dikalangan golongan Ahlussunnah wal Jama’ah dan umat Islam pada umumnya. Niat shalat mereka adalah : “Sengaja aku sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.” Niat seperti ini muncul karena anggapan mereka bahwa hakikat shalat itu adalah penyaksian diri, yakni diri dhahir dan diri batin sebagaimana pengertian shalat daim di atas.
b. Sebagian mereka meniatkan wudhu’ dengan mengatakan : “Ie nurullah “ )air nur Alah) sampai beberapa kali
c. Ada do’a rajah seperti : Kun kata Allah fayakun kata Muhammad, kun fayakun kata aku.” Lainnya : “kun kata Allah, fayakun kata Muhammad, ilaihi raji’un kata Adam”,

G. Beberapa Contoh Pemahaman Salek Buta Tentang al-Qur’an dan Hadits yang Menyimpang dari Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah

1. Firman Allah
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya : Sembahlah (beribadah) kepada tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan (Q.S al-Hajr : 99)

Salek Buta menafsirkan ayat ini dengan makna Allah memerintahkan beribadah kepada-Nya hanya sebatas sebelum datang ma’rifat kepada seorang hamba. Kalau ma’rifat itu saudah sampai kepadanya, maka ibadah itu tidak diperlukan lagi.
Bantahan
Bantahan terhadap penafsiran menurut versi Salek Buta ini sudah dijelaskan secara panjang lebar pada pembahasan golongan Salek Buta yang beri’tiqad bahwa kewajiban ibadah dhahir seperti shalat hanya apabila seseorang belum sampai kepada maqam hakikat dalam bab pembahasan “Akidah Salek Buta menyimpang dari Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah”

2. Firman Allah :
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
Artinya : Mereka yang shalatnya selalu dikerjakan (Q.S. al-Ma’aarij : 23)

Berdasarkan ayat ini, golongan Salek Buta mengi’tiqad adanya apa yang mereka namakan sebagai shalat daim. Mereka mengartikan perkataan “daimuun” dengan makna shalat yang berkekalan, tidak pernah putus dan tidak dibatasi oleh waktu, yaitu shalat dengan arti penyaksian diri dhahir dan diri bathin manusia.
Bantahan
Bantahan terhadap penafsiran firman Allah menurut versi Salek Buta ini juga tsudah dijelaskan secara panjang lebar pada pembahasan shalat daim ala golongan Salek Buta dalam bab pembahasan “Akidah Salek Buta menyimpang dari Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah”

3. Firman Allah
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Artinya : Kemana saja kamu menghadap, maka di sana zat Allah (Q.S. al-Baqarah : 115)

Berdasarkan ayat ini, Salek Buta mengambil kesimpulan bahwa Zat Allah menyatu dengan makhluk (ittihad dan hulul)
Bantahan
Pemahaman ini juga telah dibantah pada pembahasan sebelum ini pada awal bab pembahasan “Akidah Salek Buta menyimpang dari Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah”

4. Hadits :
من عرف نفسه عرف ربه
Artinya : barang siapa mengenal dirinya, maka akan mengenai tuhannya
Salek buta dengan serta merta memahami hadits ini dengan kesimpulan bahwa diri seseorang itu pada hakikatnya adalah Allah sendiri. Alasan mereka, mengenal diri sama dengan mengenal tuhan. Dengan demikian, diri seseorang itu berarti adalah tuhan itu sendiri.
Bantahan
Pemahaman Salek Buta ini dibantah dengan kutipan keterangan dari para ulama mengenai hadits di atas, yaitu :
a. Ditanyai Ibnu Hajar al-Haitamy r.a. mengenai hadits :
من عرف نفسه عرف ربه
Siapakah yang meriwayatnya ?. Beliau r.h.m., menjawab dengan perkataannya :

“Hadits tersebut tidak ada asal baginya. Perkataan tersebut hanya dihikayah dari perkataan Yahya bin Mu’az al-Razy, seorang sufi. Maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat lemah, membutuhkan, lalai, hina dan tidak tercapai maksud, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat-sifat jalal dan jamal atas yang patut bagi kedua sifat itu, maka seorang hamba selalu melakukan muraqabah sehingga dibukakan kepadanya pintu musyahadahnya. [16]

b. Didalam al-Fatawa an-Nawawi disebutkan :
“Masalah pada hadits dari Nabi SAW :

من عرف نفسه فقد عرف ربه ومن عرف ربه كل لسانه
Apakah hadits ini tsabit atau tidak ? dan apa maknanya?”. Jawab : “Hadits itu tidak tsabit. Seandaipun tsabit, maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat dha’if, berhajad kepada Allah Ta’ala dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat Kuasa, Perkasa, Rububiyah, Sempurna Mutlaq dan sifat-sifat yang tinggi. Dan barang siapa yang mengenal tuhan dengan demikian, maka kelu lidahnya dari sampai kepada hakikat syukur dan puji kepada tuhannya, sebagaimana tersebut dalam hadits Shahih Muslim dan lainnya, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak dapat aku hitung pujian atas-Mu sebagaimana pujian-Mu atas diri-Mu”. [17]

c. Al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa menyebutkan :
“Sesungguhnya hadits ini tidak shahih. Al-Nawawi ditanyai mengenai hadits ini dalam Fatawa beliau, beliau menjawab, hadits tersebut tidak tsabit. Ibnu Taimiyah mengatakan maudhu’. Al-Zarkasyi dalam al-Ahadits al-Musytahirah mengatakan, Ibnu al-Sam’any mengatakan hadits tersebut merupakan kalam Yahya bin Mu’az al-Razy.[18]

Berdasarkan keterangan para ulama yang sudah cukup terkenal sebagai rujukan umat di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits yang cukup terkenal di kalangan sufi di atas, bukanlah sebuah hadits dari Rasulullah SAW, tetapi perkataan tersebut hanyalah ucapan seorang sufi yang bernama Yahya bin Mu’az al-Razy. Seandainya perkataan tersebut memang shahih sebagai hadits Rasulullah SAW, maka maknanya sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi di atas adalah : Barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat dha’if, berhajad kepada Allah Ta’ala dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat Kuasa, Perkasa, Rububiyah, Sempurna Mutlaq dan sifat-sifat yang tinggi.

5. Hadits Nabi SAW, berbunyi :
خلق آدم على صورته أو على صورة الرحمن
Artinya : Allah menciptakan Adam atas bentuknya atau atas bentuk al-Rahman

Salek Buta mengatakan, “Lihat, dalam hadits ini dijelaskan bahwa penciptaan Adam itu dalam bentuk Allah sendiri.” Dengan demikian, menurut mereka, Allah dan manusia pada hakikatnya adalah satu.
Bantahan
Untuk membantah pemahaman Salek Buta ini, memadai di sini kita kutip keterangan dari Ibnu Hajar al-Haitamy, seorang ulama besar dari Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjelaskan penafsiran hadits di atas dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Haditsah[19] sebagai berikut :
“Ditanyai Ibnu Hajar al-Haitamy, semoga Allah memberi manfaat kepadanya, tentang hadits :
خلق آدم على صورته أو على صورة الرحمن
Apakah hadits tersebut warid atau tidak?. Beliau menjawab dengan perkataan beliau : “Ya, ada warid, tetapi dhamir pada perkataan “shuratihi”, apabila dimaknai dengan makna hakikatnya, tidak dikembalikan kepada Haq Ta’ala, karena Maha Tinggi Allah dan Agung, jauh dari berbentuk dan konsekwensinya. Asbabul wurud hadits ini adalah seseorang hamba sahaya ditempeleng pada wajahnya oleh tuannya. Lalu Nabi mencegahnya, maka Nabi untuk memberi lebih adab, bersabda : “Sesungguhnya Allah mencipta Adam atas bentuknya”. Artinya Bagaimana kamu bisa memukulnya wajahnya yang menggambarkan wajah bapakmu, Adam dan bentuknya. Adapun apabila yang dimaksud perkataan “shuratihi” semata-mata suatu sifat, maka sah kembali dhamirnya kepada Allah, sebagaimana riwayat yang shahih“ ‘ala shurah al-rahman”. Maka makna hadits ketika itu adalah sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam dengan tajalli (menyatakan diri) atas shurahnya dengan sesuatu dari sifat-sifat Haq seperti Rahmat. Karena itu, Nabi SAW mengkhususkan washaf (washaf al-Rahman) dalam penyebutan pada riwayat yang kedua. Didukung pengertian ini oleh hadits :

تخلقوا بأخلاق الله
Artinya : Berakhlaq dengan akhlaq Allah
dan perkataan Aisyah r.a. tentang Nabi :
وكان خلقه القرآن
Artinya : Akhlaq Nabi SAW adalah al-Qur’an.”

6. Hadits berbunyi, Rasulullah SAW bersabda :
ﺍﻧﺎ ﻣﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻣﺆﻣﻨﻭﻥ ﻣﻨﯥ
Artinya : Aku dari Allah dan orang-orang yang beriman dariku

Hadits ini sering digunakan oleh sebagian orang yang mendakwakan dirinya sebagai sufi, padahal mereka ini sufi bohong-bohongan serta sesat dan menyesatkan alias Salek Buta, sebagai dalil bahwa Nabi Muhammad SAW seorang insan kamil yang merupakan pancaran dari zat Allah, artinya hakikat Muhammad tidak bisa dipisahkan dari zat Allah. Paham ini sering disebut dalam pembahasan akidah sebagai paham ittihad dan hulul.
Bantahan
Al-Shakhawi, seorang ahli hadits murid dari Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab beliau, al-Maqashid al-Hasanah mengatakan :
“Guru saya (Ibnu Hajar al-Asqalany) mengatakan, hadits tersebut dusta dan dibuat-buat. Sebagian Hufazh mengatakan, tidak dikenal lafazh ini secara marfu’. Telah tetap dalam al-Kitab dan al-Sunnah bahwa orang-orang mukmin, sebagian mereka dari sebagian yang lain dan dalam al-Sunnah, sabda Nabi SAW untuk kelompok al-Asy’ariun : “Mereka adalah dariku dan aku dari mereka” dan juga sabda Nabi SAW kepada Ali : “Engkau dariku dan aku darimu” serta sabda Nabi SAW tentang Husein : “Ini dariku dan aku darinya”. Semuanya adalah Shahih. Di sisi al-Dailamy dengan tanpa isnad dari Abdullah bin Jarrad secara marfu’ : “Aku dari Allah Azza wa Jalla dan orang-orang mukmin dariku, maka barangsiapa yang menyakiti orang-orang mukmin, ssesungguhnya dia telah menyakitiku”. [20]

Perkataan Ibnu Hajar al-Asqalany di atas juga telah disebut oleh Abdurrahman al-Syaibani al-Syafi’i al-Atstsari dalam kitab beliau, Tamyiz al-Thaib min al-Khabiits.[21]
Dengan demikian, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil membenarkan i’tiqad ittihad dan hulul yang dii’tiqad oleh golongan Salek Buta yang sesat dan menyesatkan tersebut.

7. Firman Allah dalam hadits qudsi :
كنت كنزا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت خلقا فبي عرفوني
Artinya : Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku menyukai untuk dikenal, maka Aku jadikan makhluq, sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku.

Berdasarkan hadits ini, kaum Salek Buta mengatakan hakikat makhluq adalah Allah sendiri dan bersifat qadim, karena semua makhluq berasal dari “kunzan makhfiyan” (perbendaharaan tersembunyi). Kunzan makhfiyan itu sendiri adalah Allah sebagaimana yang mereka pahami dari hadits ini.
Bantahan
Hadits di atas, dalam beberapa kitab hadits disebut dengan redaksi berikut :
كنت كنزا لا أعرف فأحببت أن أعرف فخلقت خلقا فعرفتهم بي فعرفوني
Artinya : Aku adalah gudang yang tidak dikenal, Aku menyukai untuk dikenal, maka Aku jadikan makhluq. Karena itu, Aku memberikan pengetahuan kepada mereka tentang-Ku, maka mereka mengenal-Ku.

Al-Suyuthi telah menyebut hadits dengan redaksi kedua ini dalam kitab beliau, al-Durar al-Muntatsirah fil-Ahadits al-Musytahirah, kemudian beliau mengatakan, hadits ini tidak ada asalnya.[22] Imam Zarkasyi mengatakan,sebagian Hafidh mengatakan, hadits ini bukanlah kalam Nabi SAW dan tidak dikenal sanadnya, baik yang shahih maupun dha’if.[23]
Berdasarkan penjelasan kedua ulama hadits di atas, perkataan yang sering disebut-sebut oleh Salek Buta ini tidak dapat dijadikan hujjah, karena perkataan yang disebut-sebut sebagai hadits tersebut bukanlah hadits.

8. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi :
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ
Artinya : Senantiasa hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia mendengar dengannya, tangannya yang dia mengambil dengannya dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Dan jika dia memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku melindunginya (H.R. Bukhari)[24]

Sebagian Salek Buta memahami hadits ini dengan mengatakan, seorang hamba yang shaleh banyak beribadah kepada Allah dengan cintanya, maka Allah akan membalas dengan mencintainya. Lalu ketika itu menurut mereka, pendengaran, penglihatan, tangan dan seluruh anggota tubuhnya menyatukan dengan Allah.
Bantahan
I’tiqad seperti jelas merupakan i’tiqad yang dipengaruhi oleh paham hulul dan ittihad yang sudah disepakati oleh Ulama sebagai i’tiqad sesat menyesatkan dan kufur. Semua orang yang waras akalnya pasti mengatakan tidak mungkin menyatu antara yang qadim dengan makhluq yang baharu. Kalau ini terjadi, maka ini sama dengan mengatakan bahwa Allah menempati makhluq, padahal disepakati umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa Allah tidak dilingkupi oleh waktu dan tempat. Kalau Allah dilingkupi oleh waktu dan tempat, maka Allah menyerupai dengan makhluq. Sementara Allah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya : Tidak ada yang menyerupai Allah dengan sesuatupun (Q.S. al-Syuraa : 11)

Lalu bagaimana penafsiran yang benar tentang hadits qudsi di atas ? sedangkan dhahir hadits qudsi di atas menyatakan bahwa Aku (Allah) adalah pendengarannya. Menjawab kemusykilan ini, Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri menjawab dengan beberapa jawaban, yaitu :
a. Hadits tersebut datang atas jalan tamsil. Maksudnya adalah, Aku (Allah) adalah pendengaran dan penglihatannya dalam melaksanakan perintah-Ku. Dia mencintai ketaatan dan melaksanakan khidmat kepada-Ku sebagaimana dia mencintai pendengaran dan penglihatannya.
b. Keseluruhan jiwa dan raga seseorang terkonsentrasikan dengan-Ku. Maka tidak diperhatikan dengan pendengarannya kecuali apa yang Aku ridhai dan tidak dilihat dengan penglihatannya kecuali apa yang Aku perintahkannya.
c. Dijadikan Aku sebagai maksudnya, Karena itu, seolah-olah dicapai maksudnya itu dengan pendengaran dan penglihatannya
d. Aku adalah penolongnya, seperti pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya dalam menghadapi musuhnya.
e. Menurut al-Fakahany dan Ibnu Hubairah, pada hadits tersebut dibuang mudhaf. Maknanya, Aku adalah pemelihara pendengarannya, maka tidak mendengar kecuali apa yang halal didengarnya dan seterusnya
f. Al-Fakahany menyebut kemungkinan makna lain, yaitu al-sama’ di sini bermakna al-masmu’ (yang didengar). Sehingga maknanya, dia tidak mendengar kecuali zikir mengingatku, dia tidak berlezat-lezat kecuali dengan membaca kitab-Ku, tidak bermesraan kecuali dengan munajah dengan-Ku, tidak melihat kecuali keajaiban malakut-Ku, tidak menjulurkan tangannya kecuali pada tempat keredhaan-KU dan seterusnya.
Kemudian Ibnu Hajar al-Asqalany mengutip pernyataan al-Thufi, yakni :
“Para ulama yang mu’tabar telah sepakat bahwa ini (hadits di atas) adalah majaz dan kinayah dari pertolongan, mendukung dan membantu kepada hamba, sehingga seolah-olah Allah Ta’ala memposisikan diri-Nya sebagai alat penolong bagi hambanya.”[25]


------selesai--------








[1] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 130-134
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 149, No. hadits : 1646
[3] Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 536
[4] Imam al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 307-308
[5] .Al-Bakri Ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 139
[6]Abdul Wahab Sya’rany, al-Yawaqid wa al-Jawahir, Juz. I, Hal. 139-140
[7] Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Maktabah Syamilah, Juz. XIV, Hal. 154-156
[8] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.100
[9] Ibnu ‘Ajibah, Iqadh al-Hamam fi Syarh al-Hikam, al-Haramain, Hal. 6
[10] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, V, Hal. 389
[11] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 37, No. Hadits : 130
[12] Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 291
[13] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 226
[14] Imam al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 32
[15] Imam Sanusi, Syarah Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 206
[16] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 206
[17] An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 136
[18] Al-Suyuthi, al-Hawi al-Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 238-239
[19] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 206
[20] Al-Shakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 98
[21] Abdurrahman al-Syaibani al-Syafi’i al-Atstsari, Tamyiz al-Thaib min al-Khabits, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 36
[22] Al-Suyuthi, al-Durar al-Muntatsirah fil-Ahadits al-Musytahirah, Maktabah Syamilah, Hal. 352
[23] Zarkasyi, al-Lali al-Mantsurah fil-Ahadits al-Masyhurah, Juz. I, Hal. 136
[24] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 131, No. Hadits : 6502
[25] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 341

1 comment:

  1. 1. kami bersyukur tulisan kami ini diposting di blog ini (tulisan ini merupakan copi paste dari tulisan kami di http/kitab-kuneng.blogspot.com), namun sayang abon munajar memuat di sini tanpa menyebut karya siapa dan sumbernya. bahkan memunculkan kesan seolah-olah merupakan karya sendiri. bahkan lagi dengan sengaja menghilangkan nama pengarangnya pada tulisan tersebut.

    2, sudah selayaknya kita belajar untuk tidak melakukan plagiat, apalagi di dunia ilmiyah

    terima kasih

    ReplyDelete