AbuAbuya Syaikh
H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy
DAYAH-DARUSSALAM
Syaikh Muda Waly al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh,
Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah
putra bungsu dari Syaikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau
berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku
da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji
dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul
Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.
Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.
Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada
saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau
Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat
memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis
namanya sendiri dengan Muhammad Waly atau lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly
Al-Khalidy.
Perjalanan Pendidikan
Syaikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil
tentang tauhid, fiqh,dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu
beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah
tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di Ibukota
Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku
Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang
dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4
tahun beliau belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya
ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren
Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren al-Khairiyah, yang dipimpin oleh
seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar yaitu Syaikh Mahmud. Di
Pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur
dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam
ilmu Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.
Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu
masalah antara beliau dengan gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan
pendapat antara beliau dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan
bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jihar. Syaikh Muda Waly ingin
melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya,
ayah beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta
do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang
terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat
dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta
ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya
kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci
Makkah. Kejadian ini berawal dari kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang
ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama
Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah
dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di
Ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga
hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat
dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan
Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan
tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu
barulah Syaikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda
pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.
Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau
mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar
kepada ayahnya, Syaikh H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang
mendengarkan niat beliau. Apalagi Syaikh H.Muhammad Salim telah mengetahui
bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di
Pesantren Bustanul Huda.
Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda
beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung
Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari
desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda
beliau berkata “Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya
di Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syaikh Muda Waly
“biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini
Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela
melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muda Waly
berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan
dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang
yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.
Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di
Krueng Kale yang dipimpin oleh Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari
Syaikh H. Marhaban, Menteri Muda Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau
sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syaikh Hasan Krueng
Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah
kitab Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum
Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa
huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syaikh Muda Waly
merasa bahwa syarahan yang diberikan oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih
dari pengetahuan yang beliau miliki. Walaupun demikian beliau tetap menganggap
Syaikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah
sebagai bukti kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syaikh
Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh Muda
Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim
mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada
saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syaikh Hasballah Indrapuri,
beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam
ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya.
Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu al-Quran masih
kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri.
Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku,
satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada
seorang guru yang membacakan kitab-kitan kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan
dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau
meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan
murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu
dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut mengajak beliau
kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan
asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan
yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari
pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.
Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syaikh Hasballah
Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru
senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syaikh muda Waly mengajar di
pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua
waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara
jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri
untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya
jadwal, beliau kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun demikian beliau
tidak sakit.
Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran
dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng
kepada Syaikh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal
Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan al-Azhar Mesir Ustad
Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syaikh Muda
Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar
Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang
telah menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang
bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang
bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan
perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan
mengirimkan Syaikh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau
pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal
laut.Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun,
dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba
saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak
gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia membantu Syaikh Muda Waly untuk
bisa sampai ketempat yang beliau tuju.
Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di
Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya
beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan
tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan :
1. Cita-cita melanjutkan pendidikan
kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu
agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti
ulama ulama besar lainnya.Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal
Islam amat sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan
ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2. Di Normal Islam pelajaran
umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu
matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa
Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
Di Normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan
peraturan di lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana,
memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas.
Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau begini lebih baik beliau pulang ke Aceh
mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada
menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.Setelah beliau keluar dari Normal
Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh
dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak
Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat
pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.
Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah
Surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu
diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan
dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan
yang di sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau
membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin
bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat
ustaz itu.
Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya
datang ke Surau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama.
Begitulah dari hari ke hari, beliau mulai dikenal dari satu Surau ke Surau yang
lain dan dari satu Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang
Padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan
ummat Islam Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran
beliau dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu
beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.
Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat
tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah
usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al-Fitri dan
lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum
muda.
Syaikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran dan
pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah tersebut seperti
pendirian para Ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya
dalam bidang Syari’at dan Fiqh Islam tidak ada bertentangan antara yang satu
dengan yang lain. Apalagi Ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin
al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh Hamzah
Fansuri, Syaikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i
dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari“at dan Fiqh Islam
kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan sangat
mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang
berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.
Karena itulah maka semua masalah-masalah kecil di atas sangat
dikuasai oleh Syaikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al
Qur’an dan Hadist dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka
terkenallah beliau di kota Padang dan mulai dikenal pula oleh seorang Ulama
besar di kota Padang, yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H.
Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Padang.
Murid dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat
ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat
Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah.
Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan
`Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan mazhab Syafi`i di samping pula beliu
adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu Syeikh
Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada
Syaikh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang
family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof.
Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin meningkat
dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum
tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari
ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.
Kemudian Syaikh Muda waly juga berkenalan dengan Syaikh Muhammad
Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar
Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya
sekadar guru dan murid. Syaikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau,
murid Syaikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya
terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh Muhammad Jamil
Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syaikh
Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh Muda Waly tapi
pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh Muda Waly dengan
berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syaikh
Muda Waly. Dari situlah, Syaikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para
ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syaikh
Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah
Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syaikh H. Mawardi Waly. Syaikh Muda Waly
menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah.
Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan
sebagai madrasah dan tempat majlis ta`lim.
Apabila datang hari hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang
beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering
berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly
sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya apalagi dalam rumah itu
juga tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan Basri, menantu dari Syaikh
Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau
Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ke
tanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah
beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah
haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama
ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syaikh Ali Al Maliki,
pengarang Hasyiah al – Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat
ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.
Selama di Makkah Syaikh Muda Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin
Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga
Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-Mukarramah.
Pada waktu Syaikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat
shalat, beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw.
Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan
dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. Tetapi pada saat Syaikh Muda Waly sedang
bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul
beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan
bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan
beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di Madinah Syaikh Muda Waly
berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau
tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga
beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu
beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan
untuk pulang ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.
Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat
mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua
hal :
1. Karena beliau berada di
tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau
yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama.
Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para
ulama lainnya.
2. Pada umumnya para pelajar
yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah dan
berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bualn
Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan
dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci
bukan dalam bulan Ramadhan .
Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan
dari murid-murid beliau serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti
Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini
dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly maka bertambah kokoh dan
kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya. Dikalangan Ulama
tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga
dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh
Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi
Ulama dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum
Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara
ulama dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.
Walaupun Syaikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama
yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang
beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan
untuk memasuki jalan Tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama
sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syaikh
Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah
Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly memilih Thariqat
Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau
berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di Sumatera Barat kala itu yaitu
Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang.
Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah
menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadhah danmunajat berupa
mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul Ghany, beliau
sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan berwudhuk.
Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan
batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang
bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syaikh Abdul
Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan
Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah
beliau kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul
Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari
beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pesantren
tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat Jepang masuk ke
Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh
beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu
yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di
Padang lumpuh.
Pulang ke Aceh
Setelah Syaikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan
melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada
hakikatnya bagi Allah s.w.t., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa
beliau naik ke tingkat martabat Ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan
hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati
selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk
mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat beliau
dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada
waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau
mendirikan Pesantren di desa beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan
melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau
disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat Labuhan
Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad
membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu
seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada
tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan
pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat
ibadah.
Lahan tempat mendirikan Musholla yang diberi oleh famili beliau
sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong
datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan
bapak-bapak pada malam rabu dan harinya. Oleh karena itu, maka beliau ingin
memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat
menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh
disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk
membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan
pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas
tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi
sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh
Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh.
Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada
berdatangan, khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau Sumatra.
Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut
:
Pertama : Darul-Muttaqin,
di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai
tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah.
Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat
khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada
awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
Kedua : Darul `Arifin,
dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah
tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak
Syaikh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .
Keempat : Darus Salikin,
dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu
yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima : Darul zahidin,
lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena
tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di
lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .
Keenam : Darul Ma`la,
lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun
bagus dan terletak dipinggir jalan .
Semua lokasi ini dinamakan oleh Syaikh Muda waly dengan nama
demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu
menjadai hamba-hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba
yang Zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang
shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan
masyarakat .
Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa
Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota
Kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga
tidak banyak, para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan
kaum yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu
pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas
masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh
semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan
golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan
pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya
dapat di jawab oleh Syaikh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
Pendidikan Pesantren Darussalam
Di pesantren yang beliau bangun itu Syaikh Muda Waly mengajarkan
kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa,
hari senin, dan malam senin. Pada malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama
dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi
sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di
pesantren ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi Pesantren
yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan
luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan
batu-batu itu semuanya berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya terdapat di pantai
yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut
mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syaikh Muda Waly yang
kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqsyabandiyah dan shalat
Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa malam mulai
maghrib hingga larut malam.
Pada setiap bulan Ramadan Syaikh Muda Waly mengadakan khalwat
untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai
raya Idul Fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan
ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam
bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10
hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.
Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly
terbagi kepada dua :
Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang
telah berjalan bagi para Ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya
kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru hanya membaca, menerjemahkan dan
menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau
sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah
jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak
yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus
saja, sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .
Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar
sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan
pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai
contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarah
Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan
dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta
pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun
disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para
santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang
mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik
sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari
berbagai daerah.
Syaikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00
pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai
yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan
segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan
dan Shalat Dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri
dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami`
dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga
menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau.
Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun
beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid
beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan
penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid
beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau
rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat
setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau
dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari
beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh
dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai
pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah
Ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau
perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar
ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan
faham Ahlussunnah dan mazhab Syafi’i.
Murid-murid Beliau :
1. al-Marhum Tgk. H. Abdullah
Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen.
2. al-Marhum Tgk. H. Abdul Aziz
bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah
Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3. al-Marhum Tgk. H. Muhammad
Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4. Tgk. H. Muhammad Amin Blang
Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang
Bladeh, Bireuen.
5. Teungku H. Daud Zamzamy.
Aceh Besar.
6. al-Marhum Tgk. H. Syaikh
Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren Safinatussalamah, Medan.
7. Teungku Adnan Mahmud pendiri
Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8. al-Marhum. Tgk. H. Syaikh
Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale) mantan Menteri Muda
era Sukarno.
9. al-MarhumTgk. H. Muhammad
Isa Peudada, Bireuen.
10. al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11. al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh
Barat.
12. al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13. Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau
sendiri yang paling tua)
14. al-Marhum Syaikh Jailani.
15. al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16. al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17. Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon,
Aceh utara.
18. Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19. Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20. Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21. Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22. Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23. Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu.
Aceh Utara.
25. Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26. al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27. Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28. Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.
Karya Beliau
1. al-Fatwa, Sebuah kitab dalam
bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai
berbagai macam permasalahan agama.
2. Tanwirul anwar, berisi
masalah masalah aqidah.
3. Risalah Adab Zikir Ismuz
Zat.
4. Permata Intan, sebuah
risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5. Intan Permata, risalah
singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi
keputusan tentang perdebatan Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka,
beliau menyebutkan :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya
karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar
Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu
adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu
telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah)
dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab
pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful
Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan
kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan
Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad
waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah
muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan
Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab
dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid
Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad
Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu.
Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah
melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku
menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi
murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut,
karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Syaikh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama
saja. Tapi beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan
dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus
1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi
sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah
1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa dengan menyatakan
bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan berperang menetang
musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati dalam peperangan itu
akan mendapat pahala syahid. Disamping itu juga diterangkan pula hendaklah
ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan menolong
negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui
pemuda-pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian
menjadi Pemuda Republic Indonesia.
Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa
tersebut melalui pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau
menjabat sebagai pimpinan tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam
pelaksanaannya banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan
seorang Ulama muda yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI
yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari
Sumatra Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua laskar
ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan
kedaulatan Negara dari tangan penjajah..
Peristiwa Berdarah di Aceh
Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga
memiliki peran ynag sangat penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 / 21
september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang
dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat
dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly tidak bergabung dalam
PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah terpengaruh
dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.
Dalam hal ini para Ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua
antara lain Syaikh Muda waly, Syaikh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam
Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan
ini, karena mereka mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal yang
dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal yang dikaitkan dengan dunia semata.
oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan
tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama tersebut berada dalam
PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syaikh Muda
Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji
mengharamkan pemberontakan tersebut dan beliau menyatakan siap memberi bantuan
menurut kesanggupan beliau. Para Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan
kenapa faktor pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu
dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat
diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu,
beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor pada tahun 1957
untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan Presiden
Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan para ulama dari
seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu Presiden yang
sah dengan prediket Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.
Wafat Beliau
Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syaikh Muda
Waly kembali kehadapan Allah pada tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat
pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh Ulama dan
murid-murid beliau serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah
Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh
selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin.
Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau
secara bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh Jamaluddin Waly,
Syaikh Mawardi Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan Waly dan putra-putra
beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra beliau menjadi Ulama-ulama
terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam mendidik murid-muridnya tetapi
juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi Ulama-ulama yang gigih
mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat
dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh
mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren
di Aceh saat ini antara lain :
1. Pesantren LPI .MUDI MESRA,
Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu Mudi)murid dari Syaikh
Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya)
2. Pesantren Al Madinatud
Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syaikh H.Muhammad Amin
Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3. Pesantren Malikussaleh
Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan (murid Syaikh
Abdul Aziz, Samalanga)
4. Pesantren Darul Huda Lhueng
Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu Daud(murid Syaikh
Abdul Aziz, Samalanga)
5. Pesantren Darul Munawwarah,
Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Usman Kuta Krueng
(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6. Pesantren Darul Ulum, Tanoh
Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra Syaikh Abdullah Hanafiah
(murid Syaikh Muda waly dan pimpinan Pesantren tersebut sebelumnya)
7. Pesantren Raudhatul Ma`arif
Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syaikh Abdul
Aziz, Samalanga)
8. Pesantren Darul Huda, Paloh
Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh,
murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9. Pesantren Ashhabul Yamin,
Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban Adnan (murid Syaikh Abdul
Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud Bakongan)
10. Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar,
dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11. Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat,
dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nasir L.c (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga
putra Abuya Syaikh Muda waly)
12. Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh
Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh
Ibrahim Lamno (murid Syaikh Abdul `Aziz, Samalanga)
13. Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar,
dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid Syaikh Ibrahim Lamno)
14. pesantren serambi aceh meulaboh pimpinan abu H mahmudin
usman. 15.pesantren
cot keumudee bireuen pimpinan abon munajar bin H safan ali. Kesemua Pesantren tersebut dan
beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syaikh Muda
Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh Muda Waly yang lebih populer dalam
masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang Ulama yang sangat
berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh.
Seorang Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan
sekitarnya. Semoga Allah menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga
Allah melahirkan Syaikh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk
ummat Islam umumnya. Amin ya Rabbal’alamin.
No comments:
Post a Comment