Kesempatan yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban
istri. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui
kewajibannya. Apa saja kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada
istri dan kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali
ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak
penuh ego dan semoga hubungan mesra tetap langgeng.
Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang
ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak
menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah
manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada
keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada
keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212,
Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An
Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah
amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau
suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup
di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan
berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi
satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal
dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh
suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan
hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al
Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath
Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
istrinya dengan cara ma'ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak
punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak,
termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan
dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang
mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para
wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah
dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri
bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi
mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami
pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ -
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan
engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya
serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu
Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi
untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil
uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu
dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban
suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Hindun,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu
dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan
dalam hal nafkah:
- Mencukupi istri dan anak dengan
baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
- Dilihat dari kemampuan suami,
apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan
tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan
meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang
mulia ini.
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 197-204
Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan
istri tercinta
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
أَنَّهَا
كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ
فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ
فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari
lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia
kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan
untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan
diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا
أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا
الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ
الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah
orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah
yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia
yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang ingin
memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada
istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?
Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar
curhatan istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan
menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun
kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ
أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا
Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan
bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.
قَالَتِ
الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ
فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ
Wanita pertama
berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di
atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki
dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.
[Maksud perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya
dengan daging yang kurus, sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di
atas gunung yang terjal yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging
domba atau kambing yang terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan
sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik
untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan
usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa
meraih dan bersenang-senang dengannya.]
قَالَتْ
الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ
أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ
Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku
tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir aku
(tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan
menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya
itu penuh dengan ‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya
kisah tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya
disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam tubuhnya
seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri menceritakan
aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika sampai
ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada anak
dan hubungan dengan suaminya.]
قَالَتْ
الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ
أُعَلَّقْ
Wanita ketiga
berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku
diam maka aku akan tergantung”.
[Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah
suami yang berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois
(mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya
maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia
akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]
قَالَتِ
الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ
وَلاَ سَآمَةَ
Wanita keempat
berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin,
tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.
[Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang
ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus
dan bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai
baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi
suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan
keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya
menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan
tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.]
قَالَتِ
الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ
عَمَّا عَهِدَ
Wanita kelima
berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti
singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.
[Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah
pujian, bisa jadi suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada
beberapa tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena
biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Artinya, istrinya begitu disayangi
sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia
adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan,
minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua,
masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak
pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak
banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia
tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu
bergaul dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.
Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat
ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti
macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum
hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai buruk,
sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya keluar dan
istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya padanya
dan anak-anaknya.]
قَالَتِ
السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ
الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ
Wanita keenam
berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika
minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil
berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang
sedih”.
[Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa
menyantap makanan apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh
dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan
istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan
minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.]
قَالَتِ
السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ
دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ
Wanita ketujuh
berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia
miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya
untukmu”.
[Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya
tidak kuat berhubungan intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa
menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan
melukai jasad.]
قَالَتِ
الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ
Wanita kedelapan berkisah,
“Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab
(tumbuhan yang baunya harum)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah
lembut dan bersikap baik pada istrinya.]
قَالَتِ
التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ
الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ
Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung
pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat
pertemuan)”.
[Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang
terpandang, banyak tamu yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih
hewan untuk menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya
pun biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan
persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang
terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama]
قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ
وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ
قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ
أَنَهُنَّ هَوَالِكُ
Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah
Malik, dan siapakah gerangan si Malik? Malik adalah lebih baik dari
pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan
sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari
tukang jagal maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”
[Maksud perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta
sebagai persiapan untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak
mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].
قَالَتِ
الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ
حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى
نَفْسِي
Wanita kesebelas berkisah, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu
Zar’? Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah
memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun
gembira.”
[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’
memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan
tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya
tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira. Merupakan sifat suami
yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan
memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan
sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian
suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada
perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada
wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat
kecantikan seorang wanita.]
. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ
بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ،
فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ
فَأَتَقَنَّحُ
Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam
kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda
dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku
berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku
minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.
[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’
mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang
menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah
payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang
makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki
kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di
hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak
pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut dan
sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena
sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan
tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai macam
minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami yang
baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang
bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.]
. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي
زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang
mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.
[Maksud perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang
kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya
yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat
baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah
hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang
telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian
hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu
suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya
tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa
masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh
sang suami.]
ابْنُ
أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ
وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ
Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya
adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika
memakan lengan anak kambing betina.
[Maksud perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang
gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak
kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]
بِنْتُ
أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا
وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا
Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya
dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.
[Maksud perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang
berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati
kedua orangtuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga
menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya
tersebut.]
جَارِيَةُ
أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا
وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا
Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia
menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak
makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta
tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.
[Maksud perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah
orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau
pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat
jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri
sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan
jelek) dalam rumah kami.]
قَالَتْ
خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا
وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا
بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا
Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya
susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu
dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka
berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu menceraikanku
dan menikahi wanita tersebut.
[Maksud perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di
pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan
diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu
agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang
memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita
yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita
tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak
keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang
menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun
menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’]
فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا
رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا
وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي
أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ
آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ
Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka
yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi
lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah
berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan
yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke
keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua
yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.
[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi
seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga
memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang
lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut
kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa
bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.
Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua
adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya
memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah
yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama
dari sang wanita.]
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ
لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.
Dalam riwayat lain Aisyah berkata
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari
pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Kisah yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami, ada
yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk
yang harus kita jauhi.
Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada
Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya
hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak
demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha
untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti
dalam kisah ini.
Referensi:
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, terbitan Al Maktabah At
Taufiqiyah, 3: 204-211.
Faedah dari tulisan Ustadz Firanda Andirja, MA di website
pribadi beliau di sini.
Kelima: Mengajarkan istri masalah agama
Sebagian suami kurang mempedulikan hal ini. Mereka hanya
tahu bahwa kewajibannya hanyalah memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal atau
kesenangan dunia. Kewajiban kali ini sebenarnya terbilang penting bahkan
teramat penting karena berkaitan dengan akhirat.
Coba bayangkan jika suami melihat istrinya enggan berjilbab,
malas shalat fardhu, sering bermaksiat, atau tidak bisa membaca Al Qur’an,
apakah ia rela istrinya seperti itu? Semua itu tentu saja perlu didikan. Selain
dibini, yah harus dibina pula. Bukan hanya biologis saja yang ia nikmati
dari istri. Seharusnya ada simbiosis mutualisme. Istri bisa membahagiakan suami,
begitu pula sebaliknya. Dan kebahagiaan rohani ini lebih dari segalanya, lebih
pula dari kebahagiaan dunia.
Semoga menjadi renungan bagi kita –para suami- firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim: 6). Lihatlah tafsiran para
salaf mengenai ayat tersebut.
Lihatlah apa yang dikatakan oleh sahabat ‘Ali radhiyallahu
‘anhu,
أدبوهم،
عَلموهم.
“Ajarilah adab dan agama kepada mereka”.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,
اعملوا
بطاعة الله، واتقوا معاصي الله، ومُروا أهليكم بالذكر، ينجيكم الله من النار.
“Lakukanlah ketaatan pada Allah dan hati-hatilahlah dengan
maksiat. Perintahkanlah keluargamu untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya
Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka”.
Mujahid berkata,
اتقوا
الله، وأوصوا أهليكم بتقوى الله. .
“Bertakwalah pada Allah dan nasehatilah keluargamu untuk
bertakwa pada-Nya”.
Adh Dhohak dan Maqotil berkata,
حق
على المسلم أن يعلم أهله، من قرابته وإمائه وعبيده، ما فرض الله عليهم، وما نهاهم
الله عنه
“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya,
termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara
wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 14: 59)
Ingatlah, termasuk suatu kebahagiaan jika istri, anak dan
kerabat kita mendapatkan hidayah. Lihatlah perkataan Al Hasan Al Bashri,
أن
يُري الله العبد المسلم من زوجته، ومن أخيه، ومن حميمه طاعة الله. لا والله ما شيء
أقر لعين المسلم من أن يرى ولدا، أو ولد ولد، أو أخا، أو حميما مطيعا لله عز وجل.
“Yang ingin dilihat Allah pada hamba muslim dari istri,
saudara, dan sahabat karibnya adalah mereka semua taat pada Allah. Wallahi,
demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang
muslim melebihi ketaatan pada Allah yang ia lihat pada anak, cucu, saudara dan
sahabat karibnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 333).
Lalu bagaimana jika kita tidak bisa mendidik istri kita
karena kita sendiri kurang dalam agama?
Jawabnya, hendaklah suami pun memperbaiki diri. Berusaha
untuk mempelajari Islam lebih dalam sehingga ia bisa memperingatkan dan
mendidik istrinya di rumah. Lebih maslahat jika istri dididik di rumah
dibanding di luar. Itu jika mampu dan ini jalan yang lebih baik. Jika tidak
bisa demikian, hendaklah si suami mengajak istri untuk datang ke majelis ilmu
sebagaimana dirinya pun demikian. Belajarlah dari ilmu dasar, dimulai dari
memperbaiki akidah, tauhid, dan memperbaiki amalan ibadah wajib serta ilmu
penting lainnya. Dengan demikian, rumah akan terhiasi dengan cahaya ilmu dan
itulah yang akan membuat keluarga semakin tentram dan bahagia.
Semoga Allah memudahkan kita untuk mendidik istri dan
anak-anak kita dalam hal agama, sehingga kita pun terbebas dari siksa neraka.
Keenam: Mengajak istri dan anak untuk rajin
beribadah
Selain mendidik istri dan anak dalam masalah diin (agama),
suami pun berusaha untuk mengajak keluarganya untuk memperhatikan ibadahnya.
Terutama sekali hal yang wajib. Didiklah istri dan anak untuk menjaga shalat
lima waktu. Didiklah mereka memperhatikan pula amalan wajib lainnya dan
sempurnakanlah amalan tersebut dengan amalan sunnah.
Cobalah perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperhatikan shalat anak-anak
kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا
أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ
“Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat
ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka
enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud no. 495. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwaul Gholil 298).
Begitu pula beliau memerintahkan pada suami untuk
memperhatikan shalat malam istrinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
رَحِمَ
اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ،
فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ
مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ
فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di
waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri
mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di
wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu
malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami
mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di
wajah suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1450, An Nasai no. 1610, dan Ahmad 2:
250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan sebagaimana dalam Shahih At
Targhib wa At Tarhib 625).
Sungguh kemesraan yang luar biasa di akhir malam. Sedikit
yang melakukannya. Dan sedikit pula yang mempedulikan pasangannya untuk shalat
malam. Suami tentu saja bisa mengajak istri untuk rajin beribadah dengan ia
terlebih dahulu membiasakan dirinya.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menjalankan ketaatan,
menjaga ibadah wajib dan merutinkan sunnah, sehingga itu pun bisa tertular pada
istri dan anak-anak kita.
Ketujuh: Tidak mempersoalkan kesalahan kecil si
istri
Inilah petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ
يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika
si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat
sisi lain yang ia ridhoi” (HR. Muslim no. 1469).
Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan tidak
bisa seratus persen perfect sebagaimana yang suami inginkan. Bersabarlah
dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.
Kedelapan: Tidak memukul istri di wajah dan tidak
menjelek-jelekkan istri
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia
bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ -
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau
memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan
engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya
serta tidak mendiamkannya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu
Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Kenapa tidak boleh memukul wajah istri?
Karena wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan
paling terlihat oleh orang lain. Di wajah terdapat anggota lainnya yang mulia
dan lembut. Hadits ini merupakan dalil wajibnya menjauhi memukul wajah ketika
mendidik istri.
Dalam hadits di atas pun terdapat ajaran tidak
menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela atau mendoakan jelek pada istri
seperti dengan do’a “semoga Allah menjelakkanmu”. Seperti ini tidak dibolehkan
(Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).
Dalam hadits lainnya dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لاَ
يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ
الْيَوْمِ
“Salah seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk
istrinya seperti cambukan pada seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di
akhir malam” (HR. Bukhari no. 5204).
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ
امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya.
Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad
(berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Boleh mendidik istri dengan memukul namun tidak di wajah dan
tidak dengan pukulan yang keras atau tidak boleh dengan pukulan yang
menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
haji wada’,
وَلَكُمْ
عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ
فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani
kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka
melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas”
(HR. Muslim no. 1218).
Kaedah dalam memukul istri
Diterangkan dalam ayat berikut ini,
وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya
(pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka.”
(QS. An Nisa’: 34).
Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul
istri:
- Ketika nasehat tidak lagi
diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan istri dari
ranjang.
- Pukulannya dalam rangka
mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
- Tidak lagi memukul istri ketika
istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.
Kesembilan: Tidak meng-hajr (pisah ranjang)
dalam rangka mendidik selain di dalam rumah
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam ayat dan hadits
sebelumnya di atas. Mengenai makna hajr di ranjang pada ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Dan hajr-lah (pisahkanlah mereka) di tempat tidur mereka”, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan
bahwa maknanya adalah tidak satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim
dengan istri sampai ia sadar dari kesalahannya (Lihat Taisir Al Karimir Rahman,
177).
Ibnul Jauzi menerangkan mengenai makna hajr di
ranjang ada beberapa pendapat di kalangan pakar tafsir:
- Tidak berhubungan intim
- Tidak mengajak berbicara, namun
masih tetap berhubungan intim
- Mengeluarkan kata-kata yang
menyakiti istri ketika diranjang
- Pisah ranjang (Lihat Zaadul
Masiir, 2: 76).
Dan hajr boleh dilakukan di luar rumah jika ada
maslahat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr
istri-istrinya selama sebulan di luar rumah mereka.
Kesepuluh: Memberikan hak istri dalam hubungan
intim
Hal ini dapat kita ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’
berikut ini.
آخَى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ،
فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً
. فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ
حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا .
فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ
. قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ .
قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ
مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ
سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ،
وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى
النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم - « صَدَقَ سَلْمَانُ »
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi
–saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’, dalam
keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa
keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi
mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang.
Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”.
“Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku
pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap
makanan tersebut.
Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat
malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun
tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi
yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata,
“Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya
engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban
terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan
badan, pen), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani
istri, pen). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban
tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar”
(HR. Bukhari no. 968).
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai
dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda
dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya
minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan istri kesempatan untuk
menghadiri shalat jama’ah selama
keluar dengan hijab yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk
mengunjungi kerabatnya, sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu
Zar’ dan Abu Zar’ sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di hadapan istri
sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Keempatbelas: Selalu berprasangka baik dengan
istri
Inilah mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan
istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِذَا
قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى
تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari
maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar
wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir
rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً
يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam melarang
seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah
istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR.
Muslim no. 715).
Hadits semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang
menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini
adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al
Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah memudahkan kita selaku para suami untuk
memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak kita. Semoga dengan
mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah dan selalu diisi
dengan kasih sayang.
Wallahu waliyyut taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat.
Referensi:
- ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi
Daud, Al ‘Azhim Abadi Abu Ath
Thoyyib, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1415
H
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al
Maktabah At Taufiqiyah, 3: 213-215
- Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, Asy Syamilah
- Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, terbitan
Muassasah Ar Risalah , cetakan pertama, tahun 1423 H
- Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan
ketiga, 1404 H
No comments:
Post a Comment