Pages

Wednesday, June 5, 2013

Memahami Terjadi Perbedaan dalam Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh



A.Paham Keagamaan Masyarakat Aceh 
Provinsi Aceh, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam., sangat sedkit jumlahnya yang menganut agama selain Islam. Agama selain Islam tersebut adalah agama Kristen dan Budha. Kedua agama ini dianut oleh kelompok minoritas yang merupakan pendatang, yaitu China dan juga dianut oleh suku Karo dari tanah Alas. Pada awalnya, dapat dikatakan umat Islam Aceh dalam beribadah menganut Mazhab Syafi’i, salah satu mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang fiqh, namun seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi yang dikenal dengan gerakan Wahabi dan munculnya konsep pemikiran Islam yang bercorak baru yang dimotori Muhammad Abduh di Mesir, maka sebagaimana halnya dunia Islam lainnya, Aceh juga terkena imbas pengaruh gerakan pembaharuan tersebut. Sehinggga sesudah itu, maka corak paham keagamaan Islam di Aceh muncul dalam dua aliran besar, yaitu :

1.Bermazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i ini merupakan mazhab yang diterima masyarakat Aceh secara turun temurun dari awal masuk Islam ke Aceh. Sehingga tidak mengherankan kalau mayoritas umat Islam Aceh merupakan penganut Mazhab Syafi’i dan hampir semua dayah Aceh (nama lembaga pendidikan agama tradisional di Aceh) menganut Mazhab Syafi’i. PERTI, sebuah organisasi massa yang sangat populer di Aceh merupakan sebuah wadah Mazhab Syafi’i. disamping itu ada juga organisasi lain yang bermazhab Syafi’i, seperti Alwasliyah dan Nahdlatul Ulama, namun dua organisasi terakhir ini jauh populeritasnya dibanding PERTI.
2.Tidak bermazhab.
Paham ini masuk ke Aceh seiring dengan gencarnya gerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Paham tidak bermazhab ini, di Aceh pada awalnya dipopuler oleh organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang ketua pertamanya pada waktu itu adalah Tgk Daud Bereueh. Organisasi PUSA ini kemudian lenyap dengan sebab banyak tokoh-tokoh PUSA terlibat dalam gerakan DI/TII. Selanjutnya paham tidak bermazhab ini didakwah oleh organisasi pembaharuan, Muhammadiyah Dalam perkembangan selanjutnya, di Aceh, umat Islam yang bermazhab Syafi’i sering disebut sebagai orang PERTI atau orang tarawih dua puluh dan umat Islam yang tidak bermazhab disebut sebagai orang Muhammadiyah atau orang tarawih delapan.

B. Sebab-Sebab Terjadi Perbedaan dalam Menentukan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh 
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh, menurut hemat kami dapat dirumuskan dalam tiga sebab di bawah ini, yaitu : 
1.terjadi perbedaan dalam menggunakan metode penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Sebagian umat menggunakan metode rukyatul hilal dan sebagian lainnya menggunakan metode hisab
2.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal, berbeda pendapat dalam memilih dan menggunakan jenis hisab sebagai pedoman rukyatul hilal. 
3.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal ini juga berbeda pendapat dalam mengamalkan rukyatul hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. 

Ad. 1. Perbedaan dalam menggunakan metode penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri memunculkan dua kelompok besar di Aceh, yaitu : 
Kelompok pertama, yang menjadikan rukyatul hilal sebagai jalan mengetahui awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok ini, umumnya dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i atau umat Islam yang mengakui dirinya sebagai anggota organisasi PERTI. Mereka ini umumnya adalah kalangan dayah Aceh. Dalil yang digunakan kelompok ini adalah kewajiban beramal dengan dhahir hadits berikut : 
Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Dan jika (pandangan) kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah. (H.R. Bukhari dan Muslim) 

Kelompok pertama ini menganggap bahwa ilmu hisab tidak dapat menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri, karena rukyah pada hadits di atas adalah mengandung arti rukyah dengan mata (rukyah bil ‘aini) . Pendapat ini dianggap merupakan pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i. Ini sesuai dengan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami dan lainnya sebagaimana terlihat dalam pernyataan di bawah ini : 
1). Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, beliau berkata : 
“Tidak wajib puasa dengan sebab perkataan ahli perbintangan, yaitu orang yang mempedomani kepada perjalanan bintang dan dengan sebab perkataan ahli hisab, yaitu orang yang mempedomani perjalanan bulan dan taqdir perjalanannya. Dan tidak boleh atas seseorang mentaqlid keduanya. Namun demikian, boleh bagi keduanya mengamalkan dengan ilmunya, tetapi tidak memadai untuk puasa Ramadhan sebagaimana telah di tashih dalam al-Majmu’, meskipun satu kelompok ulama telah menolaknya dengan pembahasan yang panjang”. 1 

2). Umairah dalam mengomentari perkataan Imam an-Nawawi, berkata : 
“Dipahami dari mengkhususkan dengan dua ini (menyempurnakan bulan Sya’ban dan ru’yatul hilal, pen.) bahwa puasa tidak wajib dengan sebab selain keduanya seperti kabar ahli perbintangan dan hisab, bahkan tidak boleh bagi yang bukan ahli perbintangan dan hisab mempedomaninya.”. 2 

Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri berdasarkan pendapat kelompok ini tergantung kepada nampak hilal pada malam tiga puluh Sya’ban dan malam tiga puluh Ramadhan. Untuk nampak hilal sangat bergantung pada tingkat cerahnya ufuk barat pada waktu melihat hilal dan lagi bahwa hilal yang dapat dilihat dengan kasat mata hanya apabila hilal tersebut mencapai empat atau enam derajat di atas ufuk. Hal ini tidak berlaku dalam metode hisab. Metode hisab menghitung suatu malam sebagai awal Ramadhan atau Hari Raya ‘Aidil Fitri asalkan hilal sudah wujud meskipun baru satu derajat di atas ufuk dan meskipun tidak mungkin dilihat dengan kasat mata atau dihalangi pandangan mata karena mendung. 

Kelompok kedua, berpendapat bahwa hisab dapat menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok ini umumnya dari kalangan organisasi Muhammadiyah atau kalangan umat Islam yang tidak bermazhab. Sebagian kecil dari pengikut Mazhab Syafi’i juga memasuki awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri.dengan menggunakan metode ini. Kelompok ini berargumentasi bahwa maksud rukyah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim di atas juga mencakup rukyah bil ‘aqli, yaitu mengetahui dengan hisab. Bagi sebagian pengikut Syafi’i yang mengikuti pendapat ini menyandarkan diri kepada fatwa Al-Ramli, yang juga merupakan seorang tokoh ikutan pengikut Syafi’i sebagaimana halnya Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj, berkata : 
“Boleh bagi seseorang beramal dengan hisabnya dan memadai untuk fardhunya berdasarkan pendapat yang mu’tamad, meskipun tersebut dalam Majmu’, tidak memadai. Qiyas perkataan mereka “Sesunguhnya zhan mewajibkan amal”, bahwa wajib atas ahli hisab berpuasa dengan hisabnya dan orang-orang yang dikabarkan oleh ahli hisab dan berat dugaannya ahli hisab itu benar”. 3 

Ad. 2. Kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri membolehkan menjadikan hisab sebagai pedoman yang membimbing seseorang untuk dapat rukyatul hilal dengan benar, misalnya dalam menentukan tiga puluh Syakban yang menjadi waktu dilakukan rukyatul hilal, menentukan derajat hilal pada waktu rukyatul hilal dan lainnya. Hisab dengan sebab metodenya yang berbeda-beda kadang-kadang akan menghasilkan penghitungan yang berbeda-beda pula. Penghitungan yang berbeda-beda ini akan mengakibatkan berbeda kapan dilakukan rukyatul hilal. Hal terakhir ini tentu akan menghasilkan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri yang berbeda pula. Hasil penghitungan yang berbeda-beda dapat juga terjadi karena terjadi kesalahan dalam melakukan penghitungan, meskipun hisab yang digunakan masih sejenis. 

Ad. 3. Penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri yang berbeda juga dapat terjadi pada kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri, karena berbeda pendapat dalam mensikapi rukyatul hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. Sebagian umat Islam di Aceh berpendapat ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat diikuti umat Islam di Aceh dengan alasan daerah Aceh berada di kawasan paling barat Indonesia. Dengan demikian rukyatul hilal di kawasan lain Indonesia melazimkan (memastikan) ada rukyatul hilal di Aceh sesuai dengan keterangan al-Subki, al-Asnawi dan lainnya : 
“Rukyatul hilal dari pihak timur memastikan adanya rukyatul hilal di pihak barat, tidak sebaliknya”4 

Argumentasi ini ditolak oleh kelompok yang tidak mau mengikuti rukyatul hilal hasil ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. Alasannya, pada kenyataannya, rukyatul hilal dari pihak timur tidak memastikan adanya rukyatul hilal di pihak barat, karena bisa saja ada penghalang di kawasan pihak barat seperti mendung sehingga hilal meskipun sudah nampak di pihak timur, tetapi dimungkinkan tidak nampak di kawasan pihak barat. Jadi yang benar adalah wujud hilal di pihak timur memastikan wujud hilal di pihak barat, bukan rukyatul hilal, sedangkan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri bergantung kepada rukyatul hilal, bukan wujud hilal. Bantahan ini telah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj. 5 

Kelompok lain yang berpendapat ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat diikuti umat Islam di Aceh dengan beralasan dengan qaidah fiqh berikut :
حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف 
Artinya : Hukum hakim dalam masalah khilaf dapat menghilangkan khilaf 6 

Dengan demikian, maka kalau pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Agama RI telah menetapkan puasa pada hari tertentu, maka seluruh umat Islam yang berdomisili di Indonesia wajib berpuasa, meskipun daerah domisilinya itu berbeda mathali’ dengan daerah itsbat rukyat. Karena keputusan pemerintah dapat menghilangkan khilafiyah umat dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri 

Argumentasi ini dibantah bahwa implementasi qaidah di atas dalam konteks negara Republik Indonesia tidak cukup hanya melihat dhahir qaidah tersebut saja, tetapi perlu diperhatikan juga apakah syarat-syarat berlakunya hukum hakim di Indonesia sudah sesuai dengan syara’ atau tidak. Menurut penjelasan Zarkasyi, mengamalkan penetapan hakim ini adalah apabila penetapan tersebut tidak dinyatakan gugur. Hukum hakim dapat dinyatakan gugur apabila hukum tersebut nyata-nyata salah. Kesalahan tersebut adakalanya terletak pada ijtihad hakim, yakni penetapan tersebut bertentangan dengan nash, ijmak dan qiyas yang terang, dan adakalanya kesalahannya terjadi pada sebab yang batil seperti kesaksian bohong. Nash Zarkasyi dalam al-Mantsur fi al-Qawa’id tersebut adalah 7 :
قالوا حكم الحاكم في المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف وهذا مقيد بما لا ينقض فيه حكم الحاكم أما ما ينقض فيه فلا 
الثالث مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه ويكون الحكم مرتبا على سبب صحيح وغما في السبب حيث يكون الحكم مرتبا على سبب باطل كشهادة الزور 

Yang disebut Zarkasyi di atas adalah apabila hakim itu adalah mujtahid mutlaq. Adapun apabila hakim bukan seorang seoarang mujtahid mutlaq, maka persyaratannya, disamping yang tersebut di atas, ada tambahan lain sesuai dengan rincian berikut ini : 
1.Hakim adalah seorang mujtahid mazhabi. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan nash imamnya atau qawaid kuliah imamnya, karena nash imam dinisbah kepada hakim tersebut seperti nash syara’ dinisbah kepada mujtahid mutlaq 
2.Hakim adalah seorang mujtahid fatwa. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan tarjihnya sendiri sebagai mazhab imamnya 
3.Hakim adalah seorang alim dalam sebuah mazhab. Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan pendapat yang mu’tamad dalam mazhabnya, karena dia tidak naik dari martabat seorang muqallid. Ketiga syarat ini disebut oleh Ibnu Hajar. 8 

Lalu bagaimana dengan status Menteri Agama RI atau BHR Indonesia dalam konteks masalah ini. Ini dapat dijawab dengan beberapa kemungkinan : 
1.Bermazhab Syafi’i, maka keputusan tersebut dapat dinyatakan gugur karena bertentangan dengan pendapat yang muktamad dalam mazhab imamnya 
2.Bermazhab selain Syafi’i, yaitu Malik, Hanbali atau Hanafi. Kalau memang bermazhab dengan salah satu tiga mazhab ini, maka keputusannya dapat di amalkan. Tetapi kemungkinana ini sangat kecil, karena mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i atau tidak bermazhab sama sekali. Jadi diragukan Menteri Agama dan BHR RI bermazhab dengan salah satu dari tiga mazhab fiqh tersebut. Jadi kebolehan beramal dengan mazhab Syafi’i tidak dapat digugurkan dengan keraguan-raguan tersebut. Karena kebolehan beramal dengan mazhab Syafi’i merupakan ijmak. Sesuatu yang pasti tidak dapat digugurkan hanya karena suatu yang diragukan, sesuai dengan qaidah fiqh : 
االيقين لا يزال بالشك 
Artinya : Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan 9 

Lagi pula, kebolehan qadhi dari seorang muqallid adalah karena dharurat alias rukhshah. Sedangkan rukhshah sebagaimana dimaklumi tidak boleh didasarkan kepada keragu-raguan, sebagaimana qaidah fiqh di bawah ini :
الرخص لاتناط بالشك 
Artinya : Rukhshah tidak sangkutkan kepada keragu-raguan 10 

3.Tidak bermazhab sama sekali. Kemungkinan ini berujung kepada dua kemungkinan pula, yaitu kemungkinan mempunyai kemampuan sebagai mujtahid mutlaq atau bukan sebagai mujtahid mutlaq, tetapi orang yang tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan salah satu mazhab para mujtahid.. Kemungkinan pertama, rasanya sulit dipercaya sebagaimana banyak uraian para ulama mengenai kemungkinan munculnya mujtahid mutlaq pada zaman sekarang ini. Adapun kemungkinan kedua, yaitu bukan sebagai mujtahid mutlaq, tetapi orang yang tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan salah satu mazhab para mujtahid, maka keputusan yang dilakukan oleh qadhi seperti ini adalah keputusan yang ditolak oleh agama berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena keputusan tersebut merupakan keputusan tanpa sandarannya dan merupakan tindakan maksiat. Padahal tidak dibenarkan ta’at kepada makhluk dengan melakukan maksiat kepada khaliq, sesuai dengan hadits dibawah ini : 
السمع والطاعة حق ما لم يؤمر بالمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة 
Artinya : Kepatuhan dan ta’at adalah haq selama tidak diperintah dengan maksiat. Apabila diperintah dengan maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ta’at. (H.R. Bukhari) 11 

Daftar Pustaka 
1.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 375. 
2.‘Umairah, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 49 3.Imam ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 150. 
4. Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 382 
5.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 382 
6.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69 
7.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II, Hal. 69 
8. Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 69 
9. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 37 
10. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 96 
11. Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Thaibah, Juz. IV, Hal. 49-50, No. Hadits : 2955

No comments:

Post a Comment