A.Paham Keagamaan Masyarakat Aceh
Provinsi Aceh, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam.,
sangat sedkit jumlahnya yang menganut agama selain Islam. Agama selain Islam
tersebut adalah agama Kristen dan Budha. Kedua agama ini dianut oleh kelompok
minoritas yang merupakan pendatang, yaitu China dan juga dianut oleh suku Karo dari tanah Alas. Pada awalnya,
dapat dikatakan umat Islam Aceh dalam beribadah menganut Mazhab Syafi’i, salah
satu mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang fiqh, namun seiring dengan
munculnya gerakan pembaharuan Islam di Arab Saudi yang dikenal dengan gerakan
Wahabi dan munculnya konsep pemikiran Islam yang bercorak baru yang dimotori
Muhammad Abduh di Mesir, maka sebagaimana halnya dunia Islam lainnya, Aceh juga
terkena imbas pengaruh gerakan pembaharuan tersebut. Sehinggga sesudah itu,
maka corak paham keagamaan Islam di Aceh muncul dalam dua aliran besar, yaitu :
1.Bermazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i ini merupakan mazhab yang diterima
masyarakat Aceh secara turun temurun dari awal masuk Islam ke Aceh. Sehingga
tidak mengherankan kalau mayoritas umat Islam Aceh merupakan penganut Mazhab
Syafi’i dan hampir semua dayah Aceh (nama lembaga pendidikan agama tradisional
di Aceh) menganut Mazhab Syafi’i. PERTI, sebuah organisasi massa yang sangat
populer di Aceh merupakan sebuah wadah Mazhab Syafi’i. disamping itu ada juga
organisasi lain yang bermazhab Syafi’i, seperti Alwasliyah dan Nahdlatul Ulama,
namun dua organisasi terakhir ini jauh populeritasnya dibanding PERTI.
2.Tidak bermazhab.
Paham ini masuk ke Aceh seiring dengan gencarnya
gerakan pembaharuan Islam yang dimotori oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh
di Timur Tengah. Paham tidak bermazhab ini, di Aceh pada awalnya dipopuler oleh
organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang ketua pertamanya pada waktu
itu adalah Tgk Daud Bereueh. Organisasi PUSA ini kemudian lenyap dengan sebab
banyak tokoh-tokoh PUSA terlibat dalam gerakan DI/TII. Selanjutnya paham tidak
bermazhab ini didakwah oleh organisasi pembaharuan, Muhammadiyah Dalam
perkembangan selanjutnya, di Aceh, umat Islam yang bermazhab Syafi’i sering
disebut sebagai orang PERTI atau orang tarawih dua puluh dan umat Islam yang
tidak bermazhab disebut sebagai orang Muhammadiyah atau orang tarawih delapan.
B. Sebab-Sebab Terjadi Perbedaan dalam Menentukan
Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menentukan
awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri di Aceh, menurut hemat kami dapat
dirumuskan dalam tiga sebab di bawah ini, yaitu :
1.terjadi perbedaan dalam menggunakan metode
penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Sebagian umat menggunakan
metode rukyatul hilal dan sebagian lainnya menggunakan metode hisab
2.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal,
berbeda pendapat dalam memilih dan menggunakan jenis hisab sebagai pedoman
rukyatul hilal.
3.kelompok yang menggunakan metode rukyatul hilal
ini juga berbeda pendapat dalam mengamalkan rukyatul hilal yang ditetapkan oleh
Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta.
Ad. 1. Perbedaan dalam menggunakan metode penentuan
awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri memunculkan dua kelompok besar di
Aceh, yaitu :
Kelompok pertama, yang menjadikan rukyatul hilal
sebagai jalan mengetahui awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok
ini, umumnya dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i atau umat Islam yang
mengakui dirinya sebagai anggota organisasi PERTI. Mereka ini umumnya adalah
kalangan dayah Aceh. Dalil yang digunakan kelompok ini adalah kewajiban beramal
dengan dhahir hadits berikut :
Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal) maka
berpuasalah dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Dan jika
(pandangan) kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Kelompok pertama ini menganggap bahwa ilmu hisab
tidak dapat menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri, karena
rukyah pada hadits di atas adalah mengandung arti rukyah dengan mata (rukyah
bil ‘aini) . Pendapat ini dianggap merupakan pendapat yang mu’tamad dalam
Mazhab Syafi’i. Ini sesuai dengan fatwa Ibnu Hajar al-Haitami dan lainnya
sebagaimana terlihat dalam pernyataan di bawah ini :
1). Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj,
beliau berkata :
“Tidak wajib puasa dengan sebab perkataan ahli
perbintangan, yaitu orang yang mempedomani kepada perjalanan bintang dan dengan
sebab perkataan ahli hisab, yaitu orang yang mempedomani perjalanan bulan dan
taqdir perjalanannya. Dan tidak boleh atas seseorang mentaqlid keduanya. Namun
demikian, boleh bagi keduanya mengamalkan dengan ilmunya, tetapi tidak memadai
untuk puasa Ramadhan sebagaimana telah di tashih dalam al-Majmu’, meskipun satu
kelompok ulama telah menolaknya dengan pembahasan yang panjang”. 1
2). Umairah dalam mengomentari perkataan Imam
an-Nawawi, berkata :
“Dipahami dari mengkhususkan dengan dua ini
(menyempurnakan bulan Sya’ban dan ru’yatul hilal, pen.) bahwa puasa tidak wajib
dengan sebab selain keduanya seperti kabar ahli perbintangan dan hisab, bahkan
tidak boleh bagi yang bukan ahli perbintangan dan hisab mempedomaninya.”. 2
Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri
berdasarkan pendapat kelompok ini tergantung kepada nampak hilal pada malam
tiga puluh Sya’ban dan malam tiga puluh Ramadhan. Untuk nampak hilal sangat
bergantung pada tingkat cerahnya ufuk barat pada waktu melihat hilal dan lagi
bahwa hilal yang dapat dilihat dengan kasat mata hanya apabila hilal tersebut
mencapai empat atau enam derajat di atas ufuk. Hal ini tidak berlaku dalam
metode hisab. Metode hisab menghitung suatu malam sebagai awal Ramadhan atau
Hari Raya ‘Aidil Fitri asalkan hilal sudah wujud meskipun baru satu derajat di
atas ufuk dan meskipun tidak mungkin dilihat dengan kasat mata atau dihalangi
pandangan mata karena mendung.
Kelompok kedua, berpendapat bahwa hisab dapat
menjadi penentu awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri. Kelompok ini umumnya
dari kalangan organisasi Muhammadiyah atau kalangan umat Islam yang tidak
bermazhab. Sebagian kecil dari pengikut Mazhab Syafi’i juga memasuki awal
Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri.dengan menggunakan metode ini. Kelompok ini
berargumentasi bahwa maksud rukyah dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim di
atas juga mencakup rukyah bil ‘aqli, yaitu mengetahui dengan hisab. Bagi
sebagian pengikut Syafi’i yang mengikuti pendapat ini menyandarkan diri kepada
fatwa Al-Ramli, yang juga merupakan seorang tokoh ikutan pengikut Syafi’i
sebagaimana halnya Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj,
berkata :
“Boleh bagi seseorang beramal dengan hisabnya dan
memadai untuk fardhunya berdasarkan pendapat yang mu’tamad, meskipun tersebut
dalam Majmu’, tidak memadai. Qiyas perkataan mereka “Sesunguhnya zhan
mewajibkan amal”, bahwa wajib atas ahli hisab berpuasa dengan hisabnya dan
orang-orang yang dikabarkan oleh ahli hisab dan berat dugaannya ahli hisab itu
benar”. 3
Ad. 2. Kelompok yang menggunakan metode rukyatul
hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri membolehkan
menjadikan hisab sebagai pedoman yang membimbing seseorang untuk dapat rukyatul
hilal dengan benar, misalnya dalam menentukan tiga puluh Syakban yang menjadi
waktu dilakukan rukyatul hilal, menentukan derajat hilal pada waktu rukyatul
hilal dan lainnya. Hisab dengan sebab metodenya yang berbeda-beda kadang-kadang
akan menghasilkan penghitungan yang berbeda-beda pula. Penghitungan yang
berbeda-beda ini akan mengakibatkan berbeda kapan dilakukan rukyatul hilal. Hal
terakhir ini tentu akan menghasilkan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya
‘Aidil Fitri yang berbeda pula. Hasil penghitungan yang berbeda-beda dapat juga
terjadi karena terjadi kesalahan dalam melakukan penghitungan, meskipun hisab
yang digunakan masih sejenis.
Ad. 3. Penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil
Fitri yang berbeda juga dapat terjadi pada kelompok yang menggunakan metode
rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri,
karena berbeda pendapat dalam mensikapi rukyatul hilal yang ditetapkan oleh
Badan Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta.
Sebagian umat Islam di Aceh berpendapat ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di
bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat diikuti umat Islam di
Aceh dengan alasan daerah Aceh berada di kawasan paling barat Indonesia. Dengan
demikian rukyatul hilal di kawasan lain Indonesia melazimkan (memastikan) ada
rukyatul hilal di Aceh sesuai dengan keterangan al-Subki, al-Asnawi dan lainnya
:
“Rukyatul hilal dari pihak timur memastikan adanya
rukyatul hilal di pihak barat, tidak sebaliknya”4
Argumentasi ini ditolak oleh kelompok yang tidak
mau mengikuti rukyatul hilal hasil ketetapan Badan Hisab dan Rukyah di bawah
Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta. Alasannya, pada kenyataannya,
rukyatul hilal dari pihak timur tidak memastikan adanya rukyatul hilal di pihak
barat, karena bisa saja ada penghalang di kawasan pihak barat seperti mendung
sehingga hilal meskipun sudah nampak di pihak timur, tetapi dimungkinkan tidak
nampak di kawasan pihak barat. Jadi yang benar adalah wujud hilal di pihak
timur memastikan wujud hilal di pihak barat, bukan rukyatul hilal, sedangkan
penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri bergantung kepada rukyatul
hilal, bukan wujud hilal. Bantahan ini telah dikemukakan oleh Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj. 5
Kelompok lain yang berpendapat ketetapan Badan
Hisab dan Rukyah di bawah Kementerian Agama RI yang berpusat di Jakarta dapat
diikuti umat Islam di Aceh dengan beralasan dengan qaidah fiqh berikut :
حكم الحاكم في المسائل
المختلف فيها يرفع الخلاف
Artinya : Hukum hakim dalam masalah khilaf dapat
menghilangkan khilaf 6
Dengan demikian, maka kalau pemerintah Indonesia
dalam hal ini Menteri Agama RI telah menetapkan puasa pada hari tertentu, maka
seluruh umat Islam yang berdomisili di Indonesia wajib berpuasa, meskipun
daerah domisilinya itu berbeda mathali’ dengan daerah itsbat rukyat. Karena
keputusan pemerintah dapat menghilangkan khilafiyah umat dalam menentukan awal
Ramadhan dan Hari Raya ‘Aidil Fitri
Argumentasi ini dibantah bahwa implementasi qaidah
di atas dalam konteks negara Republik Indonesia tidak cukup hanya melihat
dhahir qaidah tersebut saja, tetapi perlu diperhatikan juga apakah
syarat-syarat berlakunya hukum hakim di Indonesia sudah sesuai dengan syara’
atau tidak. Menurut penjelasan Zarkasyi, mengamalkan penetapan hakim ini adalah
apabila penetapan tersebut tidak dinyatakan gugur. Hukum hakim dapat dinyatakan
gugur apabila hukum tersebut nyata-nyata salah. Kesalahan tersebut adakalanya
terletak pada ijtihad hakim, yakni penetapan tersebut bertentangan dengan nash,
ijmak dan qiyas yang terang, dan adakalanya kesalahannya terjadi pada sebab
yang batil seperti kesaksian bohong. Nash Zarkasyi dalam al-Mantsur fi
al-Qawa’id tersebut adalah 7 :
قالوا حكم الحاكم في
المسائل المختلف فيها يرفع الخلاف وهذا مقيد بما لا ينقض فيه حكم الحاكم أما ما
ينقض فيه فلا
الثالث مدار نقض الحكم على
تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع
أو القايس الجلي بخلافه ويكون الحكم مرتبا على سبب صحيح وغما في السبب حيث يكون
الحكم مرتبا على سبب باطل كشهادة الزور
Yang disebut Zarkasyi di atas adalah apabila hakim
itu adalah mujtahid mutlaq. Adapun apabila hakim bukan seorang seoarang
mujtahid mutlaq, maka persyaratannya, disamping yang tersebut di atas, ada
tambahan lain sesuai dengan rincian berikut ini :
1.Hakim adalah seorang mujtahid mazhabi. Hukumnya
dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan nash imamnya atau qawaid kuliah
imamnya, karena nash imam dinisbah kepada hakim tersebut seperti nash syara’
dinisbah kepada mujtahid mutlaq
2.Hakim adalah seorang mujtahid fatwa. Hukumnya
dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan tarjihnya sendiri sebagai mazhab
imamnya
3.Hakim adalah seorang alim dalam sebuah mazhab.
Hukumnya dinyatakan gugur apabila bertentangan dengan pendapat yang mu’tamad
dalam mazhabnya, karena dia tidak naik dari martabat seorang muqallid. Ketiga
syarat ini disebut oleh Ibnu Hajar. 8
Lalu bagaimana dengan status Menteri Agama RI atau
BHR Indonesia dalam konteks masalah ini. Ini dapat dijawab dengan beberapa
kemungkinan :
1.Bermazhab Syafi’i, maka keputusan tersebut dapat
dinyatakan gugur karena bertentangan dengan pendapat yang muktamad dalam mazhab
imamnya
2.Bermazhab selain Syafi’i, yaitu Malik, Hanbali
atau Hanafi. Kalau memang bermazhab dengan salah satu tiga mazhab ini, maka
keputusannya dapat di amalkan. Tetapi kemungkinana ini sangat kecil, karena
mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i atau tidak bermazhab sama
sekali. Jadi diragukan Menteri Agama dan BHR RI bermazhab dengan salah satu
dari tiga mazhab fiqh tersebut. Jadi kebolehan beramal dengan mazhab Syafi’i
tidak dapat digugurkan dengan keraguan-raguan tersebut. Karena kebolehan
beramal dengan mazhab Syafi’i merupakan ijmak. Sesuatu yang pasti tidak dapat
digugurkan hanya karena suatu yang diragukan, sesuai dengan qaidah fiqh :
االيقين لا يزال بالشك
Artinya : Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keragu-raguan 9
Lagi pula, kebolehan qadhi dari seorang muqallid
adalah karena dharurat alias rukhshah. Sedangkan rukhshah sebagaimana dimaklumi
tidak boleh didasarkan kepada keragu-raguan, sebagaimana qaidah fiqh di bawah
ini :
الرخص لاتناط بالشك
Artinya : Rukhshah tidak sangkutkan kepada keragu-raguan
10
3.Tidak bermazhab sama sekali. Kemungkinan ini
berujung kepada dua kemungkinan pula, yaitu kemungkinan mempunyai kemampuan
sebagai mujtahid mutlaq atau bukan sebagai mujtahid mutlaq, tetapi orang yang
tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan salah satu mazhab para
mujtahid.. Kemungkinan pertama, rasanya sulit dipercaya sebagaimana banyak
uraian para ulama mengenai kemungkinan munculnya mujtahid mutlaq pada zaman
sekarang ini. Adapun kemungkinan kedua, yaitu bukan sebagai mujtahid mutlaq,
tetapi orang yang tidak sampai derajat mujtahid tidak mau bermazhab dengan
salah satu mazhab para mujtahid, maka keputusan yang dilakukan oleh qadhi
seperti ini adalah keputusan yang ditolak oleh agama berdasarkan kesepakatan
para ulama. Karena keputusan tersebut merupakan keputusan tanpa sandarannya dan
merupakan tindakan maksiat. Padahal tidak dibenarkan ta’at kepada makhluk
dengan melakukan maksiat kepada khaliq, sesuai dengan hadits dibawah ini :
السمع والطاعة حق ما لم
يؤمر بالمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Artinya : Kepatuhan dan ta’at adalah haq selama
tidak diperintah dengan maksiat. Apabila diperintah dengan maksiat, maka tidak
ada kepatuhan dan ta’at. (H.R. Bukhari) 11
Daftar Pustaka
1.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak
pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III,
Hal. 375.
2.‘Umairah, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 49 3.Imam ar-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 150.
4. Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak
pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III,
Hal. 382
5.Ibnu Hajar Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak
pada hamisy Hawasyi al-Syarwani dan al-Ubady, Darul Fikri, Beirut, Juz. III,
Hal. 382
6.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II,
Hal. 69
7.Imam Zarkasyi, Al-Mansur fi al-Qawaid, Juz. II,
Hal. 69
8. Sayyed Ali bin Ahmad al-Saqaf, al-Fawaid
al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal.
69
9. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
al-Haramain, Indonesia, Hal. 37
10. Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
al-Haramain, Indonesia, Hal. 96
11. Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Thaibah, Juz.
IV, Hal. 49-50, No. Hadits : 2955
No comments:
Post a Comment