Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram
dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah
pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah
yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu,
mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga
istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban
dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban
istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah
bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.
Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ
يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ
الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada
yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya
karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban
istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan
Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang
menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا
وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا
ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu,
juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga
kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka
dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga
melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu
Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس
على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan
seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami"
(Majmu' Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap
wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak
membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu
yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah,
dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka
dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu
keperluan. Selesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ
زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ
إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain
menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”,
tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku
tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana
keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga
dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih
sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no.
1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri
diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain,
meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah
dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan
itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no.
7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata
Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS.
Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali
dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya
ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin
suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya
berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’
Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas
si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh”
(HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى
عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak
ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri
tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil
haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid
bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya”
(Syarh Shahih Muslim, 10: 7).
Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan,
maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri
kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah
dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas
mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian
sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ
تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ
غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali
dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami
tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari
suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195
dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ
تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk
masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.”
(HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami
ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan
asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak
diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99).
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa
sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”
(HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa
Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392
mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin
bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada
hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya.
Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang
dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa
di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar
Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan
izin suami. ... Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan
tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika
seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya
tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas
fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah
menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi
jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu)
seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka
boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi,
puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam:
- Puasa sunnah yang tidak
memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]),
- Puasa wajib yang masih ada
waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa
yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika
suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami
ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika
suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri
sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28:
99)
Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’
(hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami
sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan,
“Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan
hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah.
Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib
tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul
Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab
terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak
untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap
harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa
sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih
Muslim, 7: 115)
Jalan menuju surga bagi wanita adalah amat mudah. Cukup taat
dan bakti pada suami, itu sudah memudahkan jalannya.
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina)
dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki
sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih).
Tulisan kali ini akan mengulas lanjutan dari tulisan
sebelumnya, mengenai kewajiban istri yang menjadi hak suami. Semoga Allah
memudahkan setiap wanita muslimah mengamalkannya.
Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah
suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini hasan)
Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam
kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan
shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam
radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan
minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk
membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara
jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR.
Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa
berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih
belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku
tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka.
Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ
اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga
kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)
Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34).
Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692),
“Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga
kemaluan dan harta suami. Di samping itu, ia wajib menjaga hak Allah dan hak
selain itu.”
Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada
suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si
istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan
kepada beliau ketika shalat,
وَرَأَيْتُ
النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا
النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ:
يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ،
لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا
قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali
melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas
penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita
menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan
kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita
itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka
kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat
baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia
melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan
berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR.
Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma
karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan
lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan
terhapus dengan kemarau sehari.
Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di
hadapan suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti
tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika
keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di
dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan
sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu
yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah,
dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci”
(HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih)
Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian
yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya
Allah
Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).
Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki
sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari
kemampuannya
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ
الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ
عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia
melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau
menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di
sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR.
Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami
Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta
untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ
عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya
tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi
surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10
hari
Allah
Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al
Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga
hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.”
(HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)[2]
No comments:
Post a Comment